03 Nov, 2025
Terbakarnya TPA Sarimukti pada tahun 2023 lalu dan penuhnya kapasitas TPA tersebut adalah bukti nyata gagalnya tata kelola sampah yang dilakukan pemerintah dari mulai level provinsi hingga kabupaten/kota. Kini, alih-alih menerapkan solusi cepat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membangun 84 insinerator. Apalagi TPA Legok Nangka tidak kunjung bisa dioperasikan. Sehingga pemerintah seakan ngebet untuk menjalankan rencana tersebut. Kebijakan ini akan menelantarkan Instruksi Gubernur no 02/PBLS.04/DLH, dimana pengurangan sampah 50% sampah untuk memenuhi kuota TPA Sarimukti, diperoleh dengan melarang sampah organik ke TPA, sehingga TPA Sarimukti hanya akan menerima sampah residu. Insinerator dan pemilahan sampah organik, tidak bisa berjalan bersamaan. Apalagi kepercayaan yang dimiliki pemerintah saat ini adalah bahwa masyarakat Jawa Barat tidak akan mampu melakukan pemilahan sampah. Bongkar pasang aturan seperti inilah yang membuat persoalan sampah di Jawa Barat tidak pernah selesai selama 20 tahun pasca longsornya Leuwigajah. Pembangunan insinerator yang diklaim ramah lingkungan ini diperkirakan menghabiskan biaya senilai Rp.117 miliar dan akan dibagi secara gotong royong antara provinsi dan kabupaten kota dengan rincian, Kota Bandung 43 unit, Kabupaten Bandung 25 unit, Kota Cimahi 6 unit, dan Kabupaten Bandung Barat 10 unit. Langkah ini bukanlah pilihan tepat dan bijak, bahkan berisiko menambah beban pencemaran lingkungan kawasan Bandung Raya di kemudian hari. Kami melihat rencana pembangunan tungku-tungku pembakaran ini sebagai solusi instan dan tidak mau ribet yang terburu-buru serta tidak akan menyelesaikan akar masalah. Bahkan, sangat kental nuansa proyek oriented. Sampah yang akan dibakar di tungku-tungku tersebut adalah sampah tercampur, termasuk sampah organik dengan kandungan air yang tinggi, seperti sampah pasar. Hal ini berpotensi melanggar baku mutu emisi dan tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri LHK No. P.70/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal. Peraturan ini menjelaskan perihal standarisasi, izin penggunaan serta karakteristik sampah yang boleh dibakar dan yang tidak, meliputi sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dan tidak boleh membakar sampah organik maupun sampah B3 di dalamnya. Untuk mengurangi resiko pencemaran, pembakaran sampah tercampur dengan kandungan organik yang tinggi, membutuhkan operasi pembakaran 24 jam non-stop, dengan tambahan bahan bakar terus menerus untuk menjaga suhunya. Ini jelas akan meningkatkan biaya pengelolaan sampah di Kota dan Kabupaten di Bandung Raya. Untuk mencapai standar operasional dan lingkungan merujuk pada standar Legok Nangka, maka biaya operasional yang dibutuhkan adalah sekitar 500.000 per ton sampah. Biaya pengoperasian insinerator-insinerator ini, harus ditanggung oleh Kota dan Kabupaten. Tingginya biaya pengelolaan inilah yang membuat banyak insinerator yang dibangun sebelumnya, mangkrak. Sedangkan insinerator yang beroperasi saat ini, seperti di Pasar Ciwastra, DLH hanya memberikan uang saja, nerima laporan sekian ton sampah yang dibakar, laporan jumlah sampah yang dibakar ya seadanya gitu aja, bahkan tidak ada timbangan sampah. Meskipun diklaim bersertifikat, insinerator yang beroperasi di bawah biaya operasional yang rendah, harus diwaspadai resiko bahaya lingkungan serta kesehatan masyarakat yang akan ditimbulkannya. Perwakilan KLH sendiri menyatakan bahwa surat edaran mengenai standar penggunaan insinerator telah dikirimkan, namun efektivitasnya di lapangan masih dipertanyakan. WALHI Jawa Barat, didukung WALHI Nasional, mendesak Pemerintah Daerah di Bandung Raya untuk segera menghentikan atau membatalkan rencana pembangunan dan penggunaan tungku pembakaran sampah skala kecil. Desakan ini disampaikan dalam pertemuan dengan jajaran pimpinan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yang diwakili Sekretaris Utama dan didampingi oleh Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular. pada 8 Mei 2024 di Kantor KLH Jakarta Timur. Dalam pertemuan tersebut, WALHI menyampaikan bahwa rencana penggunaan tungku pembakaran sampah, merupakan langkah pendek dan pilihan yang tidak bijak. Selain itu, WALHI Jabar juga menyampaikan hasil temuan di lapangan, bahwa fasilitas pengolahan sampah seperti TPS3R yang didanai proyek Citarum Harum banyak yang mangkrak dan tidak berfungsi optimal akibat minimnya dukungan pembiayaan dan pembinaan dari pemerintah daerah. Kegagalan fasilitas yang dibangun dan tidak tegasnya pemerintah dalam mendorong pemilahan sampah organik, membuat sampah organik masih terus dibuang ke TPA seperti Sarimukti, bahkan pasca-kebakaran. WALHI menggaris bawahi, bahwa fokus utama pengelolaan sampah seharusnya adalah pengurangan dan pemilahan di sumber, khususnya penanganan sampah organik yang merupakan komponen terbesar sampah rumah tangga dan pasar. Solusi yang rasional dan berilmu untuk sampah organik adalah melalui pengomposan, budidaya maggot BSF, dan metode biokonversi lainnya. Dalam pertemuan tersebut, apa yang digarisbawahi WALHI ini didukung oleh KLH yang diwakili oleh Sekretaris Utama (Sestama), bahwa sampah organik seharusnya tidak masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) apalagi dibakar. Keberadaan TPA hanya untuk sampah residu saja. Memposisikan TPA Legok Nangka hanya untuk pembuangan sampah residu, melarang sampah organik ke TPA, sehingga secara keseluruhan terjadi pengurangan 50% sampah ke TPA adalah inti peraturan Instruksi Gubernur 02/PBLS.04/DLH. Kebijakan yang mendahulukan pengadaan insinerator-insinerator kecil, jelas memperlihatkan inkonsistensi tatakelola yang menyebabkan kacau balau dan tidak pernah selesainya persoalan sampah di Jawa Barat serta Indonesia. Akhir kata, pengelolaan sampah adalah tugas bersama yang memerlukan komitmen kuat pada solusi berbasis sumber dan berkelanjutan, bukan mengandalkan teknologi mahal dan bermasalah yang hanya memindahkan beban atau bahkan memperparah dampak lingkungan. Sebagai bahan rekomendasi, kami mendesak Pemerintah Daerah Bandung Raya untuk menghentikan obsesi pada teknologi pembakaran yang diragukan kualitasnya. Alihkan anggaran serta upaya pada penguatan sistem pemilahan di sumber baik di masyarakat maupun kawasan komersial, revitalisasi TPS3R, serta penegakan hukum terhadap pelanggar. WALHI akan terus mengawal implementasi kebijakan pengelolaan sampah di Bandung Raya dan mendesak semua pihak untuk mengutamakan solusi ramah lingkungan, berkelanjutan, dan didasarkan pada tata kelola yang baik, bukan langkah-langkah pendek tanpa ilmu yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan baru. M. Jefry Rohman Tim Advokasi Persampahan WALHI Jawa Barat
2 comments
Kevin martin
Nicee Information.
Sarah albert
Berita Yang Bagus