03 Nov, 2025

Jakarta, 28 April 2025 – Pengadilan Tata Usaha Neg...

Jakarta, 28 April 2025 – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah menjatuhkan putusan perkara nomor 455/G/TF/LH/2024/PTUN.JKT dalam perkara gugatan Lingkungan Hidup yang diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM), PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A Cirebon dari RUPTL 2021-2030. Dalam pertimbangannya, hakim menyasar pada kepentingan hukum Penggugat (WALHI) dikarenakan belum adanya kerugian yang nyata dikarenakan PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A Cirebon belum dibangun atau bahkan Proyek Pembangunan PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A Cirebon tersebut dalam proses pembahasan terkait dengan perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terbaru. kemudian Pengadilan menyimpulkan bahwa Penggugat tidak lagi mempunyai Kepentingan hukum untuk mengajukan gugatan ini. Padahal, fakta persidangan tidak mengatakan demikian, WALHI merupakan Organisasi lingkungan hidup yang mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup yang akan menerima dampak signifikan dari pembangunan dan operasi PLTU Jawa-3/ Tanjung Jati A 2 x 660 MW yang berpotensi menimbulkan dampak negatif signifikan terhadap lingkungan hidup dalam wujud penurunan kualitas udara, kesehatan publik, penurunan kualitas air laut, serta semakin parahnya perubahan iklim. Dimana sudah menjadi pengetahuan umum kegiatan PLTU Batubara merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan hidup yang signifikan. Bahkan menurut analisis dari Mark Chernaik, Ph.D. & Johnnie Chamberlin, Ph. D. Staff Scientist dari Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW) Eugene, OR, United States of America. Menjelaskan PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A akan melepaskan 7,35 juta CO2 setiap tahun dan 221 juta CO2 selama masa 30 tahun beroperasi. Merespon putusan dari PTUN Jakarta, pertama, terlihat bahwa pemerintah baik eksekutif, legislatif mauapun yudukatif belum serius merespon kriris iklim, dimana salah satu penyebab krisis iklim adalah penggunaan batu bara apalagi saat mendengar press out batu bara yang merupakan narasi palsu yang tentu berdampak bagi keselamatan nyawa manusia dan keberlangsungan lingkungan itu sendiri. Kedua, selain ketidak seriusan kami juga melihat bahwa kondisi PLTU di Jawa Barat tidak membutuhkan elektrifikasi tambahan, apalagi menurut hitungan PLN memiliki kelebihan energi sebesar 6Gb khusus untuk Jawa Barat sendiri sampai 2030. Artinya kalau terus dipaksakan tidak realated dengan kepentingan yang harusnya dilandasakan pada kebutuhan dan representatif masyarakat. Ketiga, bahwa pemerintah pusat maupun daerah masih mengalami ketergantungan terhadap energi fosil, kalaupun juga menggunakan energi baru juga hanya akal-akalan. Apalagi jika perlu diketahui bahwa Jawa Barat punya target pensiun dini untuk dua PLTU, maka Jawa Barat menjadi pilihan untukmerespon peralihan dari energi kotor ke energi bersih. Tapi kembali lagi kalau melihat pada kasus PLTU Tanjung Jati A maka ini menjadi contoh bahwa pemerintah tidak serius menanggapi krisis iklim, Sebut Wahyudin Iwang Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat. Kemudian telah diuraikan secara tegas dalam fakta persidangan oleh ahli Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., L.L.M, yang merupakan ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa masyarakat seharusnya tidak harus menunggu terdampak secara nyata untuk dapat mengajukan gugatan. ahli membandingkan dengan praktik hukum di Belanda dan Inggris, di mana gugatan sudah dapat diajukan sejak tahap awal (preventif), bahkan sebelum proyek dimulai. Proses hukumnya banyak yang selesai pada tahap administrative review. Poinnya adalah menjadi hal yang sangat lazim dari perspektif perbandingan hukum untuk belum terdampak tapi sudah ada potensi terdampak itu sudah bisa dikeluh kesahkan dan diterima secara hukum untuk pendekatan penyelesaiannya. Saat persidangan berlangsung, salah satu hakim anggota memvalidasi prinsip yang disampaikan oleh ahli mengenai masyarakat boleh mengajukan gugatan dengan dasar potensi dampak dari tindakan administratif pemerintah. Ia pun mengelak jika praktik di PTUN berlangsung seperti hukum acara perdata yang harus ada dampak terlebih dahulu, baru dapat mengajukan gugatan. Ahli lain, I Gusti Agung Made Wardana, S.H., L.L.M., Ph.D, yang merupakan ahli Hukum Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan bahwa Mahkamah Agung melalui SEMA No. 36 Tahun 2013 yang diperbarui dengan PERMA No. 1 Tahun 2023 telah menetapkan bahwa perkara lingkungan memiliki karakteristik khusus dan tidak dapat semata-mata dianalisis dengan pendekatan hukum administrasi biasa. Hakim diminta untuk mengadopsi pendekatan hukum lingkungan progresif, termasuk keberanian mengambil peran aktif demi pelestarian lingkungan hidup, terlebih dalam situasi krisis iklim saat ini. Kenyataan dalam Putusan perkara ini, hakim sama sekali tidak mengadopsi pendekatan hukum lingkungan progresif dan hanya berfokus pada hukum acara PTUN secara formil tanpa mempertimbangkan keadilan di masyarakat serta pelestarian lingkungan hidup. Dalam putusan ini sama sekali tidak menggunakan PERMA 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Dari putusan ini, dapat kita dapat melihat perspektif hakim PTUN Jakarta yang masih sangat berfokus pada hal yang bersifat formil, serta mengabaikan substansi gugatan lingkungan hidup yang diajukan oleh masyarakat sipil. “Alasan penolakan bahwa WALHI tidak memiliki kepentingan hukum dinilai sebagai bentuK penyempitan makna keadilan lingkungan dan pengingkaran terhadap peran organisasi lingkungan hidup sebagai penjaga kepentingan publik. Yang lebih memprihatinkan, pengadilan sama sekali mengabaikan fakta persidangan soal potensi dampak yang seharusnya bisa digugat. Dampak putusan ini sangat serius karena membuka preseden buruk bagi upaya-upaya pencegahan perusakan, pencemaran lingkungan & perubahan iklim melalui jalur hukum. Dengan dalih tidak adanya kepentingan hukum. Jika WALHI yang memiliki kapasitas dan rekam jejak panjang dianggap tidak punya hak gugat, bagaimana nasib masyarakat biasa yang berpotensi terdampak?" sebut M Rafi Saiful Islam dari Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim. Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim. akan segera mengajukan banding atas putusan ini. "Kami yakin terdapat kesalahan fundamental dalam pertimbangan hukum yang digunakan pengadilan tingkat pertama, Dengan mengajukan banding, kami ingin menegaskan bahwa organisasi lingkungan memiliki legal standing dan kepentingan hukum untuk memperjuangkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik & sehat, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan.". Tegas M Rafi Saiful Islam dari Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim. Banding ini tidak hanya menitikberatkan pada kesalahan penafsiran hukum terkait kepentingan hukum organisasi lingkungan, tetapi juga menyoroti pengabaian pengadilan terhadap bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan kontribusi PLTU TJA terhadap pencemaran udara dan krisis iklim. Ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan pertarungan untuk menghentikan pembiaran kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi mendatang. Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat, termasuk media, akademisi, dan aktivis, untuk bersama-sama mengawal proses banding ini. Dukungan publik dinilai krusial untuk menciptakan tekanan positif agar pengadilan mempertimbangkan kasus ini secara adil dan komprehensif.   Narahubung: M. Rafi Saiful Islam (+62896-4424-3661) Wahyudin Iwang (+62813-9536-7883

2 comments

Kevin martin

Nicee Information.

Sarah albert

Berita Yang Bagus

Leave a comment