03 Nov, 2025
Bandung, 22 Mei 2024 -- Kurang lebih 8 tahun yang lalu telah menjadikan sejarah penting bagi gerakan lingkungan hidup di Jawa Barat terutama gerakan masyarakat dalalm melawan pencemaran sungai oleh limbah pabrik. Kemenangan gugatan Koalisi Melawan Limbah di PTUN Bandung ini merepresentasikan masyarakat banyak dan telah menjadi momentum tegaknya hukum lingkungan hidup di Tatar Parahiangan. Kemudian, pada Oktober 2021, sekelompok aktivis lingkungan mendesak bupati Kabupaten Bandung agar segera menetapkan tanggal 24 Mei sebagai Peringatan Hari Citarum. Semangat penetapan Hari Citarum ini dimaksudkan untuk mengembalikan Citarum sebagai pusat peradaban rakyat Parahiangan, memasuki momentum bulan mei ini kami mendesak secara keras agar pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat menetapkan juga tanggal 24 Mei sebagai Hari Citarum, sikap ini menjadi penting dapat diambil oleh Gubernur Jawa Barat sebagai wujud penghormatan bahwa sungai merupakan aspek penting dalam berkehidupan. Sebagai sungai terpanjang di Jawa Barat, sungai Citarum menjadi sumber penghidupan, lebih jauhnya memiliki fungsi utama bagi rakyat Jakarta. Secara administrasi, Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kab. Bandung Barat sebagai wilayah hulu yang memiliki peran vital dalam proses perbaikan sungai Citarum. Empat wilayah tersebut selama ini hanya dapat memunculkan dampak, mulai dari masalah pencemaran, sampah, kerusakan lahan kirtis di hulu dan di sepadan sungai, serta berbagai bencana baik pada saat kemarau maupun pada saat musim hujan. Selain bencana ekologis, kondisi tersebut diperburuk dengan kurangnya sosialisasi serta sikap tegas dari aparat penegak hukum untuk menertibkan para pelaku pencemar dan pelaku perusak Citarum, lemahnya upaya edukasi kepada masyarakat dan industri dalam mengelola limbah (B3, Limbah Peternakan dan Limbah Sampah Domestik). Gagasan pemerintah untuk mengatasi kerusakan Citarum di Jawa Barat, salah satunya dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Kerusakan Daerah Aliran Sungai CItarum sebagai langkah awal dalam strategi revitalisasi sungai Citarum. Kebijakan tersebut disambut oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan langsung membentuk dan menetapkan Kelompok Kerja Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum dengan cara mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusahakan Daerah Aliran Sungai (PPK DAS) Citarum 2019-2025. Adapun tiga misi utama Rencana Aksi tersebut, meliputi:
Faktanya saat ini, para pelaku yang melakukan pencemaran limbah B3 dari industry masih kerap terjadi, mulai dari hulu, tengah hingga hilir. Upaya sporadis yang dilakukan oleh TNI dengan cara melakukan pengecoran lubang pembuangan limbah industri secara langsung tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku pencemar. Upaya tidak efektif dan lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pembuangan limbah semakin memperburuk situasi. Lebih jauh dari itu, pencemaran air sungai Citarum tidak hanya dari limbah industri semata. Konsep pembangunan pemukiman yang letaknya menbelakangi sungai tidak lepas salah satu bagian yang menyumbang pencemaran limbah rumah tangga, dimana lubang peralon yang menonjol langsung ke sungai masih banyak kita temukan.
Menurut catatan WALHI, fakta lahan kritis yang tidak dapat tersentuh oleh program Citarum Harum ini adalah lahan yang di bawah pengelolaan perhutani yaitu kawasan puncak sulibra (Artapela) yang masuk pada bentang kawasan gambung sidanengsih serta masuk pada Sub DAS Cihejo yang bermuara ke DAS Citarum. Laporan PKK DAS yang di tayangkan di website perlu juga dibuktikan dan pertanggungjawabkan, masalahnya mereka mengklaim bahwa telah berhasil dengan cara telah melakukan penanaman pohon dengan jumlah jutaan. Dimana lokasi penanam pohon tersebut? Apakah ada metode pengawasan berapa pohon yang hidup dan pohon yang mati serta apakah menjawab terhadap pemulihan kawasan yang kritis atau tidak?
Belum lagi lahan kritis yang berada di bawah pengelolaan HGU PTPN dan tanah milik masyarakat. Setidaknya terdapat tiga titik lokasi yang kritis; tidak dapat terurai oleh program Citarum harum ini di kawasan hulu. Salah satu lokasinya berada tepat di pasir anjing, kampung Cirawa dan sebagian besar terlekat di desa Cihawuk. Pola tanam yang tidak dengan skema terasering serta tidak disertainya dengan pohon tegakan sering kali memperburuk jumlah run off yang masuk ke anak sungai yang bermuara ke DAS Citarum. Serupa dengan terampasnya hak sempadan sungai, perampasan ruang sempadan sungai lebih banyak di intervensi salah satunya oleh buruknya implementasi tata ruang. Setidaknya terdapat banyak banguan industri dan bangunan liar yang merampas hak sempadan sungai, maka tidak heran jika banjir bandang banyak menggerus bangunan yang berada tepat di sempadan sungai.
Program Citarum harum hari ini dilihat dari kacamata aktivis lingkungan dan beberapa jaringan yang menyoroti program ini belum bisa dikatakan sebagai program yang berhasil dan membawa harum nama baik Jawa Barat dikancah Nasional bahkan di level Internasional. Citarum masih dapat dikategorikan sebagai sungai yang tercemar berat. Pemerintah Pusat dengan bangga menjadikan sungi Citarum sebagai showcase di World Water Forum (WWF) sangatlah keliru. Fakta di lapangan Citarum belum banyak yang berubah, sederhananya program Citarum Harum bisa dikatakan belum mampu merubah Citarum menjadi sungai yang bersih.
Fakta lain, bahwa indikator tercemar ringan itu berdasarkan data pada tahun 2019-2023, dimana pada saat itu kita tahu bahwa Negara kita sedang mengalami masa Covid-19 yang artinya beberapa industrI atau pabrik sedang banyak yang tidak beroperasi. Maka dalam bentuk menjawab bahwa Citarum belum layak menjadi etalase, kita mengajak pemerintah beserta stakeholder lainnya untuk melakukan audit program Citarum Harum. Melansir berita RMOL Jawa Barat, alokasi anggaran tahun 2023 untuk Program Citarum Harum saja sebesar Rp1,37 triliun yang mana anggaran tersebut bersumber dari APBN atau mencapai 58.22% dan APBD Kabupaten/kota sebesar 36.99%. WALHI mengkhawatirkan biaya ratusan milyar bahkan triliun tersebut tidak bisa maksimal digunakan dengan masih banyaknya masalah yang terjadi.
Catatan kritis kami di atas, bermaksud ingin mendesakan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawab Barat, agar segara bersikap tegas menghentikan segala bentuk kerusakan, tidak ada toleran lagi bagi pelaku perusakan dan pelaku pencemar limbah ke aneka sungai maupun ke sungai atau istilah lain ZERO TOLERANCE POLICY. Agar dapat mewujudkan sikap ini dan tidak ada lagi toleran bagi pelaku perusak, maka kami memberikan desakan dan saran:
2 comments
Kevin martin
Nicee Information.
Sarah albert
Berita Yang Bagus