Sebagai salah satu kawasan metropolitan terbesar di Indonesia, Kota Bandung banyak didatangi kaum-kaum urban, baik untuk menangguhkan kehidupan, atau mencoba kartu keberuntungan di kota yang dikenal dengan Paris van Java. Pertimbangan dan perencanaan tata kota dalam menopang kehidupan dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung.
Hak Atas Lingkungan Hidup sudah tertuang dalam Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia, dengan pernyataan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Poin serupa dikeluarkan dalam Pasal 28 H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Makna lingkungan hidup yang baik dan sehat bisa terukur oleh tiap individu. Misalnya fasilitas kebersihan memadai, jasa kebersihan yang dikelola kolektif untuk menghasilkan lingkungan yang bersih dan sehat, serta beragam cara lainnya. Maka, berbagai aspek untuk memenuhi kelayakan hidup menjadi keharusan bagi pemerintah mulai dari perencanaan hingga pembangunan dalam tata kota.
Namun, berbeda dengan apa yang dialami warga Arcamanik, Kota Bandung. Tepatnya di Jalan Permata Sari XII. Ada usaha peternakan dan penggemukkan sapi ilegal yang kerap kali membuang limbah ke aliran Sungai Cirongge. Limbah berupa kotoran dan urine sapi menyebabkan polusi bau bagi masyarakat. Penindakan akan pencemaran itulah yang diperjuangkan oleh Iskandar bersama warga lainnya selama 15 tahun. Kang Is (sapaan Iskandar) mendiami tempat tinggal yang tak jauh dari peternakkan sapi.
Warga sudah lama melaporkan hal ini ke pihak terkait, terutama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung. Dinas bersikap: usaha peternakkan yang dimiliki oleh Bambang Haryanto sudah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang telah terdaftar di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung. Melansir detik.com, dijelaskan bahwa warga RW 11 yang berjumlah 44 Kepala Keluarga (KK) menyutujui adanya pembangunan usaha tersebut. Bambang Haryanto juga menyatakan pihaknya memperkerjakan sebagian warga RW 11, Kecamatan Arcamanik tersebut.
Menggugat Kepastian Hukum Dalam Kasus Peternakan Ilegal Arcamanik
Menurut pandangan WALHI Jawa Barat, penggunaan ”pemberdayaan masyarakat” menjadi tameng berdirinya usaha ilegal tidak bisa dibenarkan. Ada prosedur perizinan yang wajib ditempuh. Izin merupakan norma pengatur atau pengendali agar masyarakat dalam melakukan sesuatu (bisnis maupun lainnya) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Izin menjadi representative instrument dengan tujuan utama mencegah perilaku menyimpang dari hukum.
Apalagi dengan lahirnya Undang-undang Cipta Kerja yang memunculkan suatu sistem OSS dan memunculkan istilah-istilah baru merupakan celah baru bagi para oknum yang memiliki kepentingan atas nama “pemberdayaan masyarakat” sekitar. Kelalaian pada kaidah-kaidah tata ruang yang sebenarnya sudah jelas diatur dalam dokumen RTRW, kaidah lingkungan yang baik, dan kaidah yang terkandung dalam masyarakat yang seharusnya ditempuh, diringkas menjadi begitu singkat sehingga tidak menjadikan lahirnya peraturan baru malah menambah parah nilai yang muncul soal kualitas tata ruang di kota Bandung.
Kajian WALHI Jawa barat menyoal Pemanfaatan tata Ruang yang tidak sesuai dan tidak diurus serius oleh pemerintah daerah ialah soal adanya bangunan yang digunakan menjadi peternakan sapi. Apabila merujuk terhadap dokumen RTRW bahwa keberadaan peternakan tersebut tidak sesuai karena di dalam dokumen lokasi tersebut masuk ke zona pemukiman. Bahwa zona yang dimaksud termasuk ke dalam blik Sukamiskin, Arcamanik. Selain adanya kesalahan dalam pemanfaatan tata ruang sebagaimana penelusuran WALHI Jawa Barat bahwa peternakan sapi tersebut membuang limbah sampai ke sungai Cipamokolan, sedangkan apabila kembali dilihat di dalam dokumen RTRW sungai Cipamokolan sebagi Sungai Drainase Primer. Lantas dalam kasus ini dimana ketegasan pemerintah dan apa yang sudah dilakukan?
Kecenderungan pendirian usaha kerap bukan dengan tujuan utama mensejahterakan masyarakat, namun untuk meraih profit bagi pemilik. Keharusan awal dalam pemenuhan kegiatan usaha adalah membuat Izin Usaha. Sebuah usaha yang ada, tanpa kelengkapan surat yang diperlukan disebut usaha ilegal. Usaha ilegal yang WALHI Jawa Barat lihat untuk kasus usaha peternakan ilegal di Arcamanik ada dua kemungkinan.
Pertama, kemungkinan berjalannya usaha tanpa dibarengi dengan pengawasan dan monitoring pemerintah. Kedua, terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Maladministrasi menurut Pasal 1 ayat (3) UU No. 37/2008, adalah perilaku atau perbuatan melanggar hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain. Sangat memungkinkan jika usaha ilegal diselipkan oleh pejabat yang tentunya ini menjadi pertanggungjawaban pidana pejabat.
- Ada pelanggaran terhadap prosedur penerbitan izin lingkungan. Pasal 37 ayat 1 Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) No. 32/2009.
- Pelanggaran terhadap prosedur penerbitan izin usaha atau kegiatan, padahal izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha atau izin kegiatan. (Pasal 40 ayat 1 UUPLH)
- Indikasi pelanggaran berupa pengabaian atau kelalaian terhadap kewajiban hukum untuk melakukan pengawasaan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap persyaratan izin usaha dan atau kegiatannya. (Pasal 71 ayat 1 UUPLH)
- Pelanggaran berupa pengabaian atau kelalaian penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap persyaratan izin lingkungannya. (Pasal 72 ayat 1 UUPLH)
Jika ditemukan adanya mal-administrasi dalam usaha tentu akan bertujuan pada pertanggungjawaban pribadi (faute de personale), sifatnya berupa administratif, perdata, bahkan pidana.
Bias Dalam Tindakan, Usaha Ilegal Jelas Mengganggu Tata Ruang
Usaha peternakan untuk menempuh proses izin tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 05/2019 Tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian. Didalamnya tertuang prosedur untuk izin usaha peternakan. Setelah memiliki NIB barulah permohonan izin usaha menyanggupi beberapa komitmen, salah satunya rekomendasi kesesuaian dengan RTRW setempat.
Arcamanik sendiri masuk ke dalam pemukiman dengan kepadatan sedang. Dalam RTRW Kota Bandung, persiapan untuk pemukiman adalah mengintegrasikannya dengan fasilitas umum yang mudah diakses. Sebabnya dipertimbangkan usaha-usaha yang akan didirikan di wilayah tersebut. Apabila tidak memiliki izin lingkungan seharusnya pejabat daerah tidak menerbitkan izin usaha (Pasal 40 ayat 1 UUPLH).
Ada beberapa faktor yang diharuskan dalam usaha peternakan sapi di perkotaan, yaitu
- Faktor Perkandangan
- Faktor Pemberian Pakan
- Faktor Pencegahan Penanggulangan Penyakit
Sapi sebagai hewan ternak memiliki kotoran yang mengandung gas ammonium, hydrogen sulfida, CO2, dan CH4 yang tinggi. Sering kali sapi diserang berbagai penyakit, di antaranya: Coxiella Burnetti, Laptospisoris, dan bahkan Salmonella sp. Pengawasan terhadap 3 faktor diatas adalah untuk mencegah adanya penyakit pada sapi.
Dengan posisi di tengah kota, dan bahkan mitigasi pengolahan limbah yang belum sesuai dengan standar mutu air limbah yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15/2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Kotoran yang dibuang ke sungai Cirongge juga mencemari air sungai yang jelas berdampak bagi masyarakat secara makro.
Melalui laporan yang WALHI Jawa Barat terima, perusahaan terkait menghindari bau pembuangan limbah cair melalui paralon panjang. Padahal sesuai dengan UU Ciptaker apabila sebuah usaha diharuskan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha/kegiatan. Bahkan Perizinan Berusaha dapat dibatalkan jika tidak memenuhi syarat kelayakan lingkungan hidup, mengandung cacat hukum, serta pemalsuan data, dokumen, atau infomrasi (Pasal 37). Inipun juga yang dilakukan dalam peternakan di Arcamanik tersebut (izin yang digunakan adalah izin kegiatan tahu tempe).
.Salah satu indikator tujuan pembangunan kota Bandung adalah Liveable City Index. Konsep ini merujuk pada kota yang layak huni bagi masyarakat, dengan salah satu capaiannya ialah masyarakat mendapatkan air bersih dan sanitasi, hingga akses ke komunitas yang aman dan lingkungan yang bersih.
Banyak akibat jika pengawasan dan penindakan terhadap peternakan di tengah pemukiman kota tidak dilakukan. Jika penanggulangan penyakit tidak dilakukan dengan baik, kotoran dan urine yang dikeluarkan secara sembarang berpotensi menimbulkan penyakit oleh bakteri seperti demam, diare, kehilangan nafsu makan, gangguan pernafasan, reproduksi, meningitis, hingga pneumonia.
Hal ini jelas menjadi tanggung jawab pemerintah daerah provinsi sesuai dengan Pasal 3 PP No. 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan:
- Pemerintah menjamin tersedianya lingkungan yang sehat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sesuai dengan kewenangannya;
- Pemerintah bertanggung jawab mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan kesehatan lingkungan; dan
- Pemerintah memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam penyelanggaraan kesehatan lingkungan.
WALHI Jawa Barat sangat menyayangkan tindakan lambat mengurusi usaha ilegal peternakan, tindakan penegakkan hukum yang lemah pada saat merespon aduan warga yang sangat lambat. Dengan maksud mendorong kepatuhan hukum sebagai eksistensi warga negara terhadap negaranya. Kerugian jangka panjang jelas akan menjangkit kita semua, tetapi keseriusan pemerintah seolah menganggap enteng permasalahan ini. Untuk itu WALHI Jawa Barat sekali lagi merekomendasikan tindakan yang khusus secara transparan dalam penutupan usaha ilegal yang ada di Arcamanik, Kota Bandung, sebab menyalahi aspek-aspek yang mendukung lingkungan yang baik dan sehat.
Salam Adil dan Lestari!
Narahubung:
Direktur WALHI Jawa Barat – Wahyudin (+62-813-9536-7383)
Manager Advokasi WALHI Jawa Barat – Rian Irawan (+62-878-3372-7833)