Tatar Parahyangan Di Ujung Tanduk Kerusakan Ekologis

Tercatat setidaknya sebanyak empat hingga lima kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah pusat pasca pandemi Covid-19 yang berimplikasi terhadap pembangunan di Jawa Barat. Beberapa diantaranya yakni: UU No. 03 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, Perpu No. 02 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Perpres No. 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pengembangan Kawasan REBANA dan Jawa Barat Bagian Selatan, Perpres No. 45 tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, lalu PP No. 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko yang Mengaplikasikan Sistem Digital (OSS).

Kebijakan-kebijakan tersebut seakan dipaksa dibuat serta disahkan pada masa covid-19 oleh pemerintahan pusat pada masa dimana masyarakat tidak bisa beraktivitas serta terlibat secara aktif dalam penyusunan dokumen kebijakan tersebut. Kondisi keterbatasan tersebut disinyalir dimanfaatkan pemerintah pusat agar masyarakat tidak dapat menghalang-halangi rencana pemerintah dalam memberikan keleluasaan kepada para oligarki pusat dalam sektor tambang, sektor energi hingga sektor usaha lainnya.

Faktanya, saat ini tercatat ada 32 Proyek Strategis Nasional (PSN) di Provinsi Jawa Barat yang direncanakan dan diproyeksikan harus dibangun pada era pemerintahan saat ini. Sebagian sudah terbangun dan sisanya sedang existing. Potret ini tentu saja belum termasuk jumlah peraturan turunan yang disahkan untuk memperkuat kebijakan pokok di atas,  misal terdapat Peraturan Gubernur No. 84 tahun 2022 tentang Kawasan REBANA yang memproyeksikan tiga belas kabupaten/kota yang beberapa diantaranya Kab. Cirebon, Kab. Subang, dan Kab. Indramayu sebagai kawasan Kota Metropolitan.

Jika kita lihat situasi di atas dengan adanya berbagai kebijakan baru tersebut, ujung tanduk kerusakan ekologis semakin nampak jelas, degradasi kawasan dan perubahan bentang alam semakin nyata terjadi, ruang partisipasi rakyat hilang serta jauh dari upaya pemulihan lingkungan dan yang terjadi malah sebaliknya. Kebijakan yang disertai dengan berbagai rencana pembangunan tersebut semakin memperkuat potensi kerusakan lingkungan di masa yang akan datang. Beberapa aspek dampak yang akan muncul dari kebijakan serta kegiatan tersebut, diantaranya:

  1. Semakin sulitnya masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dikarenakan adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Aturan ini di duga sebagai salah satu cara dari para pemangku kebijakan untuk membungkam hak demokrasi rakyat.
  2. Hadirnya Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) hanya memberikan ruang serta kepentingan bagi para pengusaha di bidang tambang tanpa mempertimbangkan aspek kerusakan lingkungan dari aktivitas tambang tersebut. Rakyat semakin jauh dari lahan, lingkungan semakin rusak.
  3. Lahirnya UU Cipta Kerja hanya akan menyisakan luka bagi kelompok serikat buruh pekerja, terampasnya hak-hak buruh salah satunya hak cuti, hak mendapat upah layak, hak lepas dari outsourcing serta bertambahnya jam waktu kerja. Ta khaya itu, kebijakan ini juga akan menjauhkan hak rakyat atas akses terhadap lahan dengan melonggarkan izin usaha bagi para pengusaha tambang dan lain sebagainya.
  4. Tela’ah terhadap Pergub No. 84 tahun 2022 tentang Kawasan REBANA atas turunan Perpers No. 87 tahun 2021 tentang Percepatan Pengembangan Kawasan REBANA dan Jawa Barat Bagian Selatan, akan menimbulkan:
  • Luas total ke-13 KPI REBANA sekitar 43 ribu hektar atau setara dengan produksi beras setahun lebih dari 400 ribu ton serta setara dengan luas lahan yang dikelola oleh 146 ribu keluarga petani di Jawa Barat. Maka, produksi beras dan pangan Jawa Barat dipastikan akan BERKURANG.
  • Kebutuhan air baku Kawasan REBANA adalah sebesar 16.521,77 Liter/detik, melampaui total debit alternatif sumber air baku di Kawasan REBANA sebesar 12.850 Liter/detik. Artinya potensi ancaman kekeringan air bersih akan terjadi ketika rencana ini dipaksakan terus di bangun.
  • Mayoritas mata pencaharian di lahan existing adalah petani dan buruh tani, petani dan buruh tani akan terancam kehilangan mata pencaharian dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan.
  • Jenis mata pencaharian/pekerjaan baru yang muncul membutuhkan kapabalitas, keterampilan dan keahlian khusus yang tidak dimiliki warga di wilayah existing.
  1. Adanya mekanisme perizinan melalui System Online Single Submission (OSS) akan menghilangkan ruang partisipasi bagi masyarakat yang akan menerima dampak dari rencana kegiatan pembangunan. Selain ruang-ruang partispasi hilang kebijakan ini diduga akan memunculkan konflik horizontal dikalangan masyarakat yang akan terdampak dari rencana kegiatan pembangunan tersebut.

Maka dari itu, kami mendesak serta merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi untuk segera:

  1. Cabut UU Cipta Kerja karena tidak merepresentatifkan kepentingan rakyat dan hanya akan mengakomodir kepentingan pengusaha serta memberikan kontribusi yang besar terhadap kerusakan Lingkungan.
  2. Batalkan rencana 13 kawasan pantura dengan peruntukkan industri agar terhindar dari alih fungsi lahan pangan, kerusakan lingkungan yang semakin tidak terhindarkan seperti di kabupaten/kota lain yang sudah menjadi daerah industri-industri besar.
  3. Batalkan Perpes No. 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan di Kawasan REBANA dan Jawa Barat Bagian Selatan, karena tidak memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Jika pun ada KLHS, kami belum pernah mengetahui karena belum pernah disosialisasikan kepada publik. Selain itu Perpres tersebut bertentangan dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 09 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat.
  4. Kawasan pesisir utara Jawa Barat harus menjadi sabuk hijau dan sumber pangan Jawa Barat bukan untuk PLTU atau kawasan industri.