Selamatkan Lingkungan dan Rakyat, Bukan Proyek Kereta Cepat.

Siaran Pers
WALHI Jawa Barat.

Menyikapi intervensi pemerintah terhadap  proyek Kereta Cepat Indonesia – China, WALHI Jawa Barat kembali menyerukan penuntasan masalah dampak lingkungan dan sosial ketimbang mengurus masalah pendanaan proyek. Alih-alih menyelamatkan rakyat, Pemerintah sibuk menyelamatkan kereta cepat. Pemerintah didesak untuk serius memperhatikan nasib rakyat yang menderita akibat proyek tersebut . Termasuk menuntut PT.KCIC untuk melaksanakan tanggungjawabnya dan patuh menghormati hak azasi warga terkena dampak proyek dalam kerangka bisnis dan HAM.

Secara khusus WALHI Jawa Barat mendorong penyelesaian masalah kerusakan lingkungan dan sosial yang dialami  133 KK warga Komplek Tipar Silih Asih, Kabupaten Bandung Barat yang tak kunjung ada titik terang sejak 2 tahun yang lalu. Akibat pembangunan terowongan 11 yang menggunakan metode peledakan pada bulan Oktober 2019, puluhan rumah rusak berat hingga ringan. Yang lebih parah lagi telah terjadi retakan tanah memanjang di area komplek berdasarkan hasil kajian Badan Geologi. Menjadi kekhawatiran warga saat turun hujan, air akan masuk ke dalam retakan tanah dan berpotensi pada bencana longsor. Upaya mekanisme keluhan dan permohonan bantuan kepada pemerintah sudah dilakukan warga. Mulai dari tingkat Desa , Kabupaten, Provinsi, Dinas terkait, hingga KLHK. Namun tetap tidak ada tindak lanjut sampai saat ini.

Selain itu masalah rusaknya belasan hektar sawah dan saluran irigasi di Desa Depok, Kabupaten Purwakarta. Sejak Agustus 2019 Sawah milik 16 warga tersebut dijadikan area disposal atau pembuangan tanah kupasan proyek jalur kereta cepat. Akibatnya sawah yang tadinya produktif tidak lagi memberikan hasil hingga sekarang. Kondisi warga yang bergantung pada lahan sawah itu menjadi lebih miris di saat dampak pandemic Covid-19 melanda. Jika sawah dan irigasi mereka tidak ditimbun tentu ketahanan pangan mereka terjamin karena  dapat bertahan hidup dengan menanam padi.

WALHI Jawa Barat mencatat ada 23 kasus terkait langsung dengan proyek kereta cepat. Dari jumlah tersebut merupakan kasus perizinan, lingkungan , sosial, hingga kecelakaan kerja. Namun persoalan lingkungan, sosial, dan HAM menjadi aspek yang paling diabaikan. Baik oleh pihak PT.KCIC dan juga Pemerintah sebagai pemberi proyek. Terbukti dengan tidak adanya niat baik penuntasan masalah hingga saat ini. Pemerintah hanya fokus pada permasalahan bengkaknya anggaran dan percepatan penyelamatan proyek agar bisa segera beroperasi. Di sisi lain rakyat terdampak proyek yang terancam hidupnya sama sekali tidak dipedulikan.

Proyek kereta cepat merupakan pintu masuk proyek properti lainnya.Perampasan ruang hidup rakyat, pemindahan paksa, dan alih fungsi lahan skala besar kelak dipastikan terjadi. Kedepannya akan ada 4 stasiun transit oriented development ( TOD ). Ke empat TOD berada di Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar. Artinya tidak hanya pembangunan stasiun, tapi  diarahkan juga pengembangan kawasan terbangun baru. Yang sudah tampak adalah TOD Walini berada di kawasan milik rakyat dan perkebunan PTPN VIII. Sedangkan TOD Tegalluar berada di kawasan pertanian padi produktif milik rakyat.

Keberadaan kereta cepat dan TOD merupakan bentuk layanan pemerintah pada kelompok oligarki properti dan kaum kaya. Dengan begitu sebenarnya pemerintah  malah membuka lebar jurang pemisah strata sosial di masyarakat. Kesenjangan sosial kelas miskin dan kaya akan semakin parah di saat pemerintah sendiri yang menciptakan dan membiarkan itu terjadi.

Oleh karena itu WALHI Jawa Barat menuntut Pemerintah lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup. Tindak tegas pelanggaran lingkungan dan HAM yang terjadi di proyek kereta cepat.