“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” termaktub dalam pasal 6 UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Menarik garis persengketaan tanah di Indonesia, tidak terlepas dari histori era kolonial. Ketika Belanda menguasai tanah di Indonesia, bahkan dengan sistem sewa untuk garapan lahan pertanian (cultuurstelsel). Pertanian sebagai sektor primer kebutuhan masyarakat serta sumber mata pencaharian dilakukan terus menerus hingga kini.
Pasca kemerdekaan, hak eigendom verponding digunakan. Ini adalah hak tanah yang diberikan pemerintah Belanda kepada warga Indonesia. Kemudian disesuaikan dengan regulasi pemerintah.
Berdasar aduan yang WALHI Jawa Barat terima dari warga desa Iwul, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, lahan yang digunakan sebagai garapan warga adalah lahan eks PTPN XI Perkebunan Cimulang.
Lahan digunakan oleh warga bertahun-tahun (menurut laporan aduan) untuk bertani dan mencukupi kehidupan mereka. Disertai adanya surat keterangan penggarapan nomor 141/DS/1991 di tanggal 12 Juni 1991. Terjadi perpindahan pengelola tanpa disertai sosialisasi kepada warga. Penggarapan terus dilakukan, perpindahan tangan jatuh ke pihak PT Kuripan Raya. PT Kuripan Raya mengklaim telah mengantongi hak perusahaan dan memiliki hak verponding.
Terjadi kasus kriminalisasi terhadap warga di tahun 1991 yang dituding mencuri kayu karet. Berlanjut hingga hari ini, kawasan yang digunakan warga setempat sebagai pertanian dilindas oleh alat-alat berat, tanpa adanya ganti rugi hingga negosiasi menunggu panen.
Padahal dalam pasal 9 UUPA menyebutkan bahwa “Tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Direktur WALHI Jawa Barat mengecam keras hal ini. Baginya walaupun secara regulasi dapat dilakukan pihak perusahaan, keharusan keterlibatan warga dengan duduk bersama bukanlah hal yang sulit. Terlebih dalam memaknai urusan bersama.
“Ini jelas pelanggaran hak asasi manusia, hak atas lingkungan, dan hak-hak lainnya,” ujar Wahyudin, Rabu (28/8/2024).
Kawasan Kecamatan Parung sendiri dalam RTRW Kab. Bogor tahun 2016-2036 akan dijadikan kawasan minapolitan. Definisi ini jika membaca ulasan Friedman dan Douglas adalah aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah pedesaan. Nantinya konsep ini berfungsi juga sebagai sistem produksi pertanian atau sumber daya alam tertentu. Kontradiktif dengan hasil observasi yang WALHI Jawa Barat dapatkan.
Warga juga mengeluhkan adanya perluasan kawasan perumahan oleh PT Kuripan Raya yang akan menghancurkan sumber mata air. Padahal kebutuhan mata air merupakan sesuatu yang primer bagi warga. Belum lagi dengan banyaknya dampak penebangan dan alih fungsi lahan secara sporadis menjadi pemukiman kota. Selain daripada pertanian hilang, ekosistem di dalamnya juga terusir. Belum lagi akses jalan yang biasa warga gunakan ditutup oleh pihak perusahaan.
Menata pemukiman kota dalam lahan-lahan kosong milik negara bukan berarti melupakan warga sebagai pihak pengelola sebelumnya. Peningkatan demografi perlu memperhatikan daya dukung lingkungan dan utilitas lahan. Tetapi, hal ini tak selalu diindahkan perusahaan.
WALHI Jawa Barat sangat mengecam keras penyelewengan hak-hak lingkungan yang terjadi di desa Iwul, Kec. Parung, Kab. Bogor. Pemenuhan akan hak mendasar harus terus diprioritaskan. Keberpihakan kepada masyarakat tak boleh dihilangkan.
Salam adil dan lestari!
Narahubung
WALHI Jawa Barat (+62 821-1982-1159)