Penambangan Ilegal Galian C: Tindak Pidana Kejahatan Lingkungan di Gunung Sireum PT PNC Majalengka

Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di tahun 2020 memuat 45 konflik pertambangan di Indonesia. Data ini diperkuat dengan pertumbuhan lima kali lipat konflik di tahun sebelumnya. Kasus konflik akibat pertambangan bukan hal kecil yang bisa dibiarkan, setidaknya menyangkut hak asasi manusia juga hak lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Konflik pertambangan juga terjadi dalam aduan kasus yang diterima WALHI Jawa Barat, tepatnya di wilayah Gunung Sireum, Kab. Majalengka. Gunung Sireum memiliki kontur tanah dengan warna merah, dengan tekstur yang lembek dan mudah longsor. Tanah tersebut memiliki kandungan yang subur untuk pertanian dan cocok ditanami berbagai jenis biodiversitas. Berada di ketinggian rata-rata 800 mdpl juga faktor pendukung lain bagi Gunung Sireum.

Potensi ini digunakan untuk ditanami tanaman seperti ubi-palawija dan sejenisnya. Masyarakat memang memperoleh untung. Tetapi di tahun 1990, Gunung Sireum mengalami longsor besar menimpa masyarakat. Setelah analisis yang dilakukan, longsor disebabkan oleh tanaman keras berupa Jeungjing, Kayu Jati, Mahoni, dan lain-lain. Adanya tanaman ini secara fungsi dapat mencegah erosi, membantu konservasi tanah, dan membawa nutrisi ke permukaan. 

Masyarakat Kampung Sarikuning menjaga ekosistem didalamnya secara berdaulat. Namun, beda halnya dengan kerakusan manusia lain (penambang). Pihak penambang mulai tertarik dengan adanya kandungan di dalam Gunung Sireum. 

Dalam hal ini, PT PNC Majalengka berniat melakukan “pembedahan” menjadi Galian Pasir C. Tentu ini potensi yang sangat mengancam masyarakat. Sudah saja dimanfaatkan dengan menanam tidak menjadi baik, apalagi dengan pertambangan yang sedari awal merusak seluruh tatanan yang ada.

Pelanggarannya jelas dan regulasi ditabrak. Izin tidak ditemukan. Sekalipun ada surat keterangan lain digunakan, surat dikeluarkan secara tidak partisipatif. Padahal secara kawasan, gunung ini melibatkan empat kampung, yakni Sarikuning, Sukahurip, Cibitung, dan Cipari. Dalam pemanfaatannya terlindungi oleh Peraturan Daerah (PERDA) Kab. Majalengka Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Majalengka.

Pasal-pasal yang WALHI Jawa Barat temukan memuat status kawasan Gunung Sireum. Pertama, sebagai kawasan sumber mata air. Kedua, sebagai kawasan rawan tanah longsor. Ketiga, kawasan hutan lindung (Pasal 20). Keempat, kawasan peruntukkan hutan produksi, pertanian lahan basah, dan peruntukkan mineral dan batuan (Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 31).

Dalam regulasi yang diatur UU Nomor 32 tahun 2009 juga banyak memuat pasal tentang izin lingkungan, penentuan perencanaan tata ruang wilayah berdasarkan KLHS, dan sejenis aturan lainnya. 

Direktur WALHI Jawa Barat, Wahyudin, mengatakan “Kondisi regulasi yang memadai bukan berarti terlepas dari jeratan konflik setelahnya. Praktik hukum di Indonesia masih bermuara pada high giving cost di lapangan. Artinya penyelewengan dan pelanggaran selalu akan terjadi.” tegasnya. 

Wahyudin atau pria yang kerap disapa Iwang juga menjelaskan peluang korupsi pemberian izin lebih hidden di tahun politik. “Ya, apalagi di tahun politik. Semua orang memerlukan modal besar, jadi tidak menutup kemungkinan memuluskan jalan yang salah.” ujar Iwang.

Aduan ini diterima oleh WALHI Jawa Barat sebagai bentuk keresahan warga kampung Sarikuning. Dalam hal ini warga mencatatkan beberapa poin tuntutan, yakni:

  1. Menolak segala bentuk pertambangan di area Gunung Sireum;
  2. Menuntut Pemerintah Daerah, terutama DPRD Kab. Majalengka untuk menghentikan segala bentuk pertambangan ilegal di Gunung Sireum;
  3. Menuntut DPRD Kab. Majalengka untuk menindak dan menginvestigasi pertambangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab;
  4. Melakukan pemanggilan kepada Kepala Desa SIlihwangi sebagai pihak pemerintah desa yang mengizinkan masuknya alat berat ke area Gunung Sireum dan Pemerintah Kecamatan Bantarujeg yang membiarkan terjadinya polemik di Sarikuning dengan pemerintah desa Silihwangi terkait dengan adanya aktivitas pertambangan ilegal di Gunung Sireum;
  5. Menuntut DPRD agar pemerintah desa tidak mengizinkan alih fungsi Gunung Sireum menjadi area pertambangan, dan menuntut untuk mengeluarkan Perda tentang pelestarian ekosistem Gunung Sireum;
  6. Meminta DPRD Kab. Majalengka untuk melakukan investigasi atas tindakan ilegal yang dilakukan penjahat penambang;
  7. Meminta DPRD Kab. Majalengka untuk mendorong Pemerintah Kab. Majalengka untuk menindak segala bentuk kegiatan dan aktivitas di lokasi Gunung Sireum, termasuk menurunkan alat berat beko yang saat ini terus merusak ekosistem Gunung Sireum.

Salam adil dan lestari!

 

Narahubung

WALHI Jawa Barat  (+62 821-1982-1159)