Pada saat Presiden JICA berbicara di Finance in Common Summit di Perancis, Empat orang perwakilan kaum buruh tani Desa Mekarsari, Indramayu mendatangi Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Kamis ( 12/11/2020 ). Maksud kedatangan mereka menyerahkan surat desakan permintaan agar pemerintah Jepang tidak memberikan pinjaman untuk pembagunan PLTU batu bara Indramayu 2 di desa mereka. Keempat buruh tani tersebut juga mewakili kawan-kawan mereka yang berprofesi lain yang juga bergantung pada sektor pertanian.
Selain surat diserahkan juga petisi dukungan publik Jepang dan Indonesia atas desakan dan permintaan para kaum buruh tani yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu disingkat JATAYU. Kedata
Desakan dan permintaan tersebut disampaikan karena mereka sudah merasakan dampak dari rencana proyek pembangunan PLTU Indramayu 2. Lahan sawah padi dan ladang produktif yang secara budaya turun temurun mereka mencari nafkah untuk hidup akan menjadi komplek PLTU Indramayu 2 yang secara pendanaan disokong oleh Jepang dalam hal ini JICA. Mereka kehilangan mata pencaharian. Selain itu nelayan juga merasa terganggu wilayah tangkapnya.
Seperti telah diketahui,Pemerintah Jepang telah berkomitmen dan memasang target nol karbon pada tahun 2050. Semestinya komitmen tersebut tidak hanya berlaku di wilayah Jepang saja, tapi harus juga diterapkan di negara lain. Karena fakta saat ini masih banyak export pendanaan dan teknologi Jepang untuk pembangkit listrik batu bara di Indonesia.
Di Jawa Barat sendiri proyek PLTU batu bara yang ada keterlibatan Jepang di dalamnya adalah, PLTU Indramayu 2 dan PLTU Cirebon 2. Bentuk keterlibatan Jepang di kedua PLTU tersebut dalam bentuk pinjaman pembiayaan dan juga penerapan teknologi pembangkit.
Teknologi PLTU batu bara saat ini sudah banyak ditentang karena berkontribusi terhadap pemanasan global dan peruban iklim. Penambahan suhu bumi yang diakibatkan dari meningkatnya emisi karbon yang dilepaskan oleh PLTU batu bara semakin memicu efek gas rumah kaca . Selain itu, berbagai emisi lain yang dihasilkan oleh PLTU batu bara akan menurunkan kualitas udara yang dihirup oleh publik. Hal itu berpotensi pada memburuknya kualitas kesehatan hingga peningkatan angka penderita penyakit saluran pernapasan.
Oleh karena itu untuk mendesak agar pemerintah Jepang konsisten dengan upaya pengurangan karbon dan pelanggaran HAM dilayangkanlah surat dan petisi tersebut.