Curah Hujan yang tinggi, lagi-lagi bahasa yang kerap digunakan dan bukan sekadar bahasa semata, curah hujan yang tinggi kerap dianggap menjadi penyebab terjadinya bencana-bencana ekologis di wilayah yang seharusnya secara ekologis tidak mesti dilekatkan dengan bencana musiman. Narasi curah hujan tinggi sebagai penyebab bencana-bencana yang terjadi di Jawa Barat khususnya, tidaklah menunjukan kualitas pihak berwenang dan menjadi dalih pengalihan fakta yang terjadi di lingkungan Jawa Barat kenapa bencana-bencana tersebut banyak terjadi saat musim penghujan tiba.
Memasuki musim penghujan, sudah dipastikan intensitas hujan yang turun akan relative tinggi dengan durasi hujan yang lebih panjang dari biasanya. Fakta ini tidak serta merta menjadikan penyebab mutlak tanpa adanya dukungan buruk dari sektor kualitas lingkungan hidup di wilayah yang terkena musim penghujan.
Sampai saat ini sebelum pembabatan hutan IKN yang menghilangkan eksistensi Indonesia sebagai paru-paru dunia itu rampung, Jawa Barat masih menjadi daerah penyokong penting bagi keberlangsungan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Daya dukung dan daya tampung wilayah-wilayah di Provinsi Jawa Barat menjadi penentu bagi daerah di sekitar wilayahnya bahkan hingga di luar Jawa Barat untuk ketahanan sumber daya air, pangan dan lainnya, bahkan jika terganggu akan berakibat bencana bagi wilayah tersebut, fatalnya bagian hilir akan semakin parah di level terpaan bencana.
Sebagai Ibu Kota Jawa Barat, Kota Bandung sebagai daerah yang disokong oleh wilayah disekitarnya terkhusus Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Terjadinya banyak bencana ekologis ketika memasuki musim penghujan di Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat—setidaknya dalam rentang tanggal 29 November hingga per 1 Desember 2023 telah terjadi 8 kejadian bencana yang menimpa. Diantaranya banjir dan longsor yang mendominasi.
Satu contoh bencana banjir di wilayah Kabupaten Bandung tepatnya di wilayah Bandung Selatan, terjadi lebih dari 3 hari menggenang pasca hujan turun dan tentunya tidak menjadi berkualitas ketika pihak yang memiliki kewenangan (pemerintah) mengatakan bahwa itu terjadi disebabkan curah hujan yang tinggi. Begitupun dengan wilayah Kota Hujan atau Bogor yang dalam rentang tanggal yang sama terjadi Banjir dan longsor di wilayah administrasi kota maupun Kabupaten Bogor. Terendamnya 331 rumah di Kota Bogor pada 29 November 2023, menjadi satu tanda tanya besar di kota yang dijuluki sebagai “kota hujan” dengan ekspektasi yang menempel bahwa Bogor sebagai kota yang rimbun dan asri kini lekat dengan istilah bencana banjir dan longsor.
Bencana banjir, longsor yang mendominasi terjadi pada musim hujan seperti yang terjadi di kawasan Bandung Selatan, Bandung Barat dan wilayah administrasi Kota Bandung serta wilayah rimbun baik Bogor Kota maupun kabupaten, tidak serta merta disebabkan curah hujan yang tinggi karena didukung oleh wilayah daerah resapan air yang tidak lagi menjadi zona prioritas sebagai wilayah tangkapan air.
Dalam ilustrasi nya, curah hujan dihitung dengan hitungan milimeter (mm), berkaitan dengan itu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisikan (BMKG) juga merilis data curah hujan dalam hitungan mm/hari. Diketahui bahwa stasiun pemantau curah hujan di Jawa Barat tersebar pada 5 stasiun besar. Mengacu pada wilayah yang terkena bencana banjir dan longsor di atas, Bandung Raya sesuai dengan situs BMKG memiliki Stasiun Geofisika Bandung, kemudian Bogor Raya memiliki Stasiun Meteorologi Citeko dan Stasiun Klimatologi Jawa Barat. Ketiga stasiun ini menyajikan data curah hujan dengan versi pemantauan wilayahnya masing-masing.
Dalam hitungan curah hujan yang turun, per 1 milimeter (mm) curah hujan yang turun sama dengan 1 liter air hujan per wilayah 1 meter persegi. Jika di ilustrasikan hujan turun di Kota Bandung sebesar 25 mm per hari itu dengan luas Kota Bandung seluas 16.730 Ha atau setara dengan 167.300.000 M² itu artinya akan ada 25 liter x 167.300.000 = 4,18 miliar liter air yang turun per hari itu, jika hujan di Kota Bandung merata 25 mm per hari tersebut.
Dalam bayangan sederhana dikaitkan dengan kejadian bencana-bencana ekologis yang menimpa, curah hujan yang turun tidak mampu ter-cover oleh daya tampung wilayah tersebut, dapat dikatakan bahwa wilayah water catchment area (daerah tangkapan air) yang terganggu ekosistemnya sehingga memperbesar intensitas larian air hujan yang langsung menuju daerah lebih rendah, juga wilayah sungai yang terganggu dan tidak maksimal ditambah lagi dengan masalah urban lainnya seperti permasalahan sampah yang masih menghuni wilayah-wilayah lintasan air.
Dengan ilustrasi dan perhitungan sederhana tersebut maka dapat dikatakan bahwa memang tidak serta-merta curah hujan disebut sebagai penyebab banjir, melainkan daya dukung dan daya tampung yang tidak maksimal dengan wilayah tutupan hutan yang terus ter-degradasi dan buruknya tata kelola daerah aliran sungai di wilayah tersebut.
Luas tutupan hutan menjadi salah satu penentu larian air hujan dapat teratasi atau tidaknya. Data 2020 terkait luas tutupan hutan untuk Kabupaten Bandung tercatat ada di angka 42.353,21 Ha dari total luas wilayah Kabupaten Bandung di angka 176.238 Ha. Angka ini tidak menjadi hal yang baik karena dalam data tutupan hutan tersebut tidak seluruhnya dikategorikan sebagai wilayah hutan yang mampu melakukan catchment terhadap air hujan yang turun. Jika kita ambil sampel di waktu 29 November berdasarkan data Stasiun Geofisika Bandung tercatat curah hujan sekitar 33,6 mm yang artinya bencana banjir terjadi dengan tidak mampunya wilayah Bandung Selatan melakukan coverage di angka curah hujan 33,6 mm per hari itu. Tentu saja ini manjadi suatu jawaban yang baru dapat kita katakan sebagai sumber penyebab terjadinya banjir di wilayah Bandung.
Daya dukung dan daya tampung dari sebuah wilayah seperti kabupaten Bandung menjadi sangat penting sebagai daerah penyangga daerah lainnya, dengan posisi kabupaten Bandung per hari ini masih terus didegradasi lahan hutannya demi kepentingan investasi dengan menggunakan skema alih fungsi hutan dan kawasan.
Sudut pandang ini tidak gampang untuk ditemukan, karena mindset yang terus disebarkan bahwa memasuki musim penghujan terjadi banjir begitupun sebaliknya musim kemarau terjadi kekeringan semata-mata disebabkan oleh perubahan musim. Disamping dari terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim, degradasi kawasan hutan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bumi dalam masa pendidihan saat ini atau biasa dikatakan sebagai perubahan iklim yang serius. Curah hujan tinggi dan ekstrim ini berawal dari tutupan hutan yang terus digerus, dibentuk bangunan-bangunan dan kawasan yang tidak ramah bagi ekosistem lingkungan baik itu menghadapi musim penghujan atau kemarau.
Layangkan keberatan! Bencana ini tidak terjadi begitu saja disebabkan oleh musim yang sedang bergulir. Hujan dan kemarau bukan suatu ancaman jika tata kelola ekosistem untuk keberlangsungan kehidupan terus diseriuskan untuk menekan perubahan iklim dan memperkecil peluang terjadinya bencana ekologis yang hadir disebabkan rusaknya alam itu sendiri.
SALAM ADIL & LESTARI!
Oleh: Dani Setiawan (081296236395)
Staff Advokasi dan Kampanye