Kertas Posisi Aliansi Orang Muda Bergerak (OMBAK) Jawa Barat Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia

Bandung, 5 Juni 2024 – Sepanjang kurun waktu 15 tahun lamanya, WALHI bersama lembaga jaringan di Jawa Barat telah menetapkan wilayah Jawa Barat sebagai daerah yang memiliki nilai tertinggi terhadap kerusakan lingkungan hidup, yang kemudian kami tetapkan dengan istilah JAVA COLLAPSE. Kerusakan di
bumi Tatar Pasundan hingga sepanjang pantai selatan, disertai di berbagai daerah Kabupaten/Kota dengan degradasi kerusakan yang sangat signifikan, dengan beragam pula kasus kerusakan yang tersebar di 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

Berbagai kebijakan pada era presiden Jokowi telah banyak menciptakan kehancuran alam yang berujung terhadap kemiskinan bagi masyarakat di kalangan menengah ke bawah. Hak atas ruang hidup serta berbagai relasi antar manusia dengan alam semakin jauh. Lebih dari itu, dapat dikatakan perampasan ruang rakyat semakin nampak dan terstruktur.

Konteks Global

Mengutip laporan PBB tahun 2018, ribuan ilmuan dan peninjau pemerintah sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C. Termasuk didalamnya negara Indonesia yang memiliki angka tertinggi dalam kasus perubahan iklim secara makro. Pertemuan G20, G7 dan COP 29 pada 2023 telah menyepakati bahwa suhu global tidak melebihi ambang batas 1,5 derajat celcius.

Namun, jika melihat dokumen hasil perjanjian Internasional yang mengikat secara hukum per tahun 2016 yang menetapkan dampak kenaikan gas rumah kaca supaya tidak melibihi ambang batas 2 derajat celcius tidak dapat dibuktikan tercapai pada tahun ini. 8 tahun pasca Perjanjian Paris, kami menagih komitmen pemerintah untuk tidak melebihi ambang batas suhu sebesar 1,5 derajat celcius.

Salah satu penyumbang terbesar pelepasan emisi yang berdampak terhadap peningkatan efek gas rumah kaca (GRK) yaitu Karbon dioksida dan Metana. Gas tersebut dapat dihasilkan dari beberapa kegiatan; PLTU Batubara, PLTU Captive, Co-firing, RDF, dan juga tidak lepas dari kegiatan pembukaan lahan dengan skala besar, kebakaran hutan, aktivitas kendaraan serta aktivitas tambang.

Jika disandingkan pada kurun waktu selama 8 tahun ini pasca disepakatinya dalam pertemuan PBB, aktivitas ekstraktif masih mendominasi kenaikan suhu global yang tinggi; berdampak terhadap krisis iklim, musim tidak menentu, suhu meningkat dan bencana kerap terjadi. Dari semua fakta tersebut mencerminkan bahwa pemerintah kita belum dapat dikatakan secara serius mengimplementasikan komitmen yang disepakati pada perjanjian Internasional.

 

Konteks Regional

Jika merujuk kepada laporan BPS tahun 2022, bahwa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Jawa Barat dalam pperingkat ketiga sebagai provinsi dengan IKLH terendah pada 2022. Meski dalam rentang waktu 2 tahun hingga saat ini angka IKLH cenderung mengalami peningkatan. Adapun angka nilainya mencapai sebesar 64,66 poin dalam katagori sedang, nilai ini lebih rendah 7,76 poin dari nilai IKLH yang ditetapkan oleh standar Nasional, seiring dengan berbagai rencana kegiatan infrastruktur, kegiatan kondominium/Bisnis Property dan Binsis wisata alam semakin marak dan tidak dapat terhindarkan.

Hal tersebut belum memotret bagaimana keruskan yang terjadi dimikro Das, Sub Das dan DAS di Jawa Barat serta kerusakan yang terjadi di Pesisir Laut dan ekosistem lautnya, Buruknya IKLH Provinsi Jawa Barat dapat di lihat setidaknya sebagai berikut:

  1. Indeks Kualitas Air, berdasarkan data yang dirilis dalam dokumen Laporan Kinerja Tahun 2023 Direktorat Pengendalian Pencemaran Air, Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Indeks Kualitas Air di Jawa Barat memperoleh nilai 46,87 poin. Angka ini menurun 0,26 Poin dari tahun 2022 dan termasuk pada kategori kurang baik (waspada). Artinya, ada kecenderungan kualitas air di Jawa Barat semakin memburuk. Angka yang pernah menjadi klaim Gubernur Jawa Barat bahwa IKA Sungai Citarum mengalami kenaikan mencapai 50 lebih, perlu di ingat bahwa situasi itu cenderung meningkat disebabkan salah satunya Virus Covid-19 yang dimana sebagai besar pabrik tidak beroperasi, sehingga kenaikan IKA sungai Citarum dapat sedikit disimpulkan karena Covid-19.
  2. Indeks Kualitas Udara, Indeks Kualitas Udara Jawa Barat mencapai 81,39 poin. Posisi ini berada di kategori Sedang. Sedangkan, berdasarkan Indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2.5 di Jawa Barat, kualitas udara di Jawa Barat cenderung pada kategori warna Oranye (Tidak sehat bagi kelompok Sensitif) dan Merah (Tidak sehat), sementara jika melihat secara spesifik kualitas udara di cekungan Bandung per tanggal 31 Mei hingga 02 Juni dalam katagori merah (tidak aman untuk untuk manusia). Sumber data (AQI) pengatan polusi udara dan PM 2,5.
  3. Indeks Tutupan Lahan (Tuplah), Di Jawa Barat, perubahan bentang alam, degradasi lahan serta alih fungsi kawasan semakin tinggi. Itu terjadi baik di kawasan hutan, alih fungsi kawasan terjadi di zona resapan air, zona konservasi, zona hutan lindung hingga zona cagar alam. Kerusakan serupa terjadi di wilayah pedesaan. Intervensi kerusakan dapat di lihat mulai dari kawasan Mikro DAS, Sub-DAS hingga DAS. Banyak persoalan bencana yang dipicu oleh alih fungsi kawasan hulu dan lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi peruntukkan lain seperti perumahan mewah. Juga kekacauan penataan ruang lain, demi segelintir orang. Area tangkapan dan resapan air yang hilang menyebabkan peningkatan kerentanan. Masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga, tak hanya mendorong kejadian bencana, namun juga menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air baku warga. Jika merujuk kepada hasil data KLHK bahwa tutupan lahan (Tuplah) wilayah Provinsi Jawa Barat dalam katogori sangat kurang/semakin menyusut pertahunnya. Hal ini dapat dilihat dari sebaran data yang keluarkan KLHK di antaranya. Kab.Bekasi, Kab.Bandung, Kota Bandung, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kota Bekasi, Kab.Cirebon, Kab.Indramayu,. Kab Subang, Kab.Bandung Barat dengan nilai Rata-rata tuplah mencapai 25%.
  4. Indeks Kualitas Air Laut, Nilai IKAL Jawa Barat adalah 85.03 poin. Angka ini masuk pada Kategori Baik. Akan tetapi, tidak terlepas juga ada beberapa catatan tahun ke belakang hingga proyeksi ancaman ekosistem laut di Jawa Barat, yakni:
    • Pada tahun 2019, kebocoran minyak dan gas terjadi di Perairan Laut Karawang hingga Bekasi, Jawa Barat. Kebocoran tersebut terjadi selama 2 minggu yang berawal dari semburan gas dan minyak di sumur lepas pantai YYA1 milik Pertamina. Kebocoran minyak dan gas tersebut menyebabkan matinya ikan dan udang di daerah tersebut.
    • Perhatian terhadap isu kemaritiman dalam janji kampanye pemerintah mendatang, luput dari prioritas. Banyak nelayan tak terkecuali di Jawa Barat, menghadapi ketidakpastian hak atas lahan dan rumah tinggal di pesisir dan lingkungan laut, ancaman penggusuran di pesisir akibat Proyek
      Strategis Nasional.
    • Sektor industri ekstraktif ini menyebabkan penurunan jumlah nelayan di Indonesia sangat erat dengan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
    • Di wilayah pesisir, nelayan harus berhadapan dengan ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan di Indonesia. WALHI mencatat, sebanyak 747.363 keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi.
      Tak berhenti disitu, kerentanan nelayan terhadap dampak perubahan iklim kian melekat. Nelayan menghadapi situasi yang sangat sulit akibat cuaca ekstrem dan gelombang tinggi. Degradasi lingkungan dan krisis iklim kian menekan ruang hidup dan memiskinkan nelayan.

 

Konteks Cekungan Bandung

Kawasan Bandung Utara (KBU), Kurang lebih 20 tahun kebelakang, WALHI setidaknya mencatat adanya perubahan bentang alam, degradasi lahan serta alih fungsi kawasan yang semakin tinggi bukan malah cenderung menurun. Perubahan bentang alam tersebut terjadi baik di kawasan hutan, salah satunya alih fungsi kawasan terjadi di zona resapan air, zona konservasi, zona hutan lindung hingga zona Cagar alam.

Hal serupa kerusakan di wilayah pedesaan, intervensi kerusakan dapat di lihat dari mulai rusaknya kawasan Mikro Das, Sub Das dan sampai kerusakan Das, jika mengacu kepada landscape sungai yang ada di Jawa Barat semua sungai dalam kondisi rusak ringan hingga rusak berat statusnya. Buruknya implentasi Rencana Tata Ruang Wilayan (RTRW) di setiap Kabupaten/Kota hingga Provinsi mencermikan dampak buruk yang akhirnya melahirkan kerusakan lingkungan yang tersistematis dan cenderung legal untuk merusak lingkungan.

Misal fakta saat ini, Kawasan Bandung Utara (KBU) selepas di syahkan nya UUCK, Pemerintah Provinsi langsung tidak lagi memberlakukan Perda KBU tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara, dimana kawasan tersebut memiliki fungsi penting bagi kehidupan masyarakat banyak warga Bandung raya. Tidak dapat di perkiraan kerusakan ke depan akan semakin terjadi dan akan lebih sangat
nampak jelas malah terkesan seakan-akan di legalkan untuk dirusak, mengingat pada saat berlakunya Perda KBU saja kawasan tersebut telah mengalami degradasi perubahan bentang alam yang cukup signifikan dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang.

Intervensi kerusakan dapat di lihat salah satunya adalah maraknya izin-izin bisnis properti serta maraknya izin wisata alam yang tidak pernah mengedepankan prinsip dan nilai keberlangsungan lingkungan hidup itu sendiri, maka tidak heran pada saat musim hujan bencana banjir longsor, banjir bandang kerap terjadi dan di musim kemarau terjadi bencana kekeringan.

 

Kawasan Bandung Selatan (KBS)

Serupa pada kondisi saat ini, potensi ancaman sudah mulai masuk ke wilayah Kawasan Bandung Selatan (KBS), padahalan KBS merupakan daerah yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk keberlangsungan rakyat di tatar ukur. Kawasan ini tidak lepas dari gangguan yang serius mulai dari kawasan yang di Kelola oleh PTPN VIII yang dimana situasinya saat ini seluas ribuan Ha HGU nya telah
mengalami habis masa izin, celakanya pemerintah melihat kondisi tersebut cenderung dan patut di duga akan di jadikan sebagai kawasan yang strategis untuk di komersilkan, misal izin-izin yang di proyeksikan untuk bisnis Wisata alam lebih meningkat serta di perburuk dengan investasi untuk para kapitalis sangat
longgar, sementara daerah ini merupakan kawasan yang rawan bencana yang begitu komplek, terdapat gunung api, pergeseran dan Gerakan tanah, banjir, puting beliung dan berbagai bencana ekologis lainnya.

Dalam kacamata lain, situasi ini di perburuk juga dengan tidak berjalannya penegakan hukum bagi pelakupelaku perusak lingkunga, pelaku perusak lingkungan bukan hanya sekedar kelompok pengusaha semata melainkan intitusi penegak hukum serta intitusi pemerintah terkadang menjadi bagian dari Sebagian
besar sebagai pelaku kerusakan, berbagai kebijakan hanya di jadikan sebagai sandaran untuk melakukan pungli serta di jadikan lahan basah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga jika melihat dari aspek kerusakan tidak hanya cukup disebabkan oleh pelaku pemodal, pemerintah pun masuk berada di
dalamnya.

Lahirnya SK25 yang di keluarkan KLHK untuk kepentingan proyek Geothermal mencredai hati masyarakat Kabupaten Bandung lebih jauhnya publik secara umum yang sedang memiliki semangat untuk memulihkan kawasan yang masuk pada level kritis, paradigma yang keliru Ketika pemerintah selalu mengeluarkan sikap disaat kawasan rusak status kawasaanya malah di turunkan dengan asas keterlanjuran, berbeda dengan pemikiran pegiat alam dan masyrakat yang menyadari kawasan tersebut memiliki fungsi penting bagi kehidupan orang banyak, sikap yang di ambil adalah menaikan status kawasan bukan malah di turunkan dengan alasan karena telah mengalami kerusakan.

SK25 dalam katagori status Quo saat ini, dan Sebagian dari aktivis yang tergabung dalam komunitas Sadar Kawasan telah berupaya memberikan saran serta fakta-fakta yang terjadi di lapangan, selain itu komunitas tersebut telah melakukan Evaluasi Kesesuian Fungsi (EKF) di KPHK Gunung GunturPapandayan, berikut temuan yang sempat di rekomendasikan komunitas kepada KLHK serta pemerintah Provinsi :

  1. Down Grade CA jd TWA di KPHK Guntur-Kamojang-Papandayan kontra produktif dengan semangat upaya pemulihan kawasan PERPRES 15 Tahun 2018 tentang Citarum Harum yang waktunya hanya tinggal 10 bulan lagi.
  2. Gangguan Tepi bukan hanya terjadi di kawasan BBKSDA tapi juga di wilayah pemangkuan PERHUTANI, sehingga untuk restorasi kawasan harus terintegrasi, terutama dikaitkan dengan lahirnya P 39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial dan SK 287 tahun 2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) berupa Reforma Agraria yg telah menimbulkan
    berbagai dinamika yg kontroversial di masyarakat.
  3. Pihak Pemkab Bandung harus duduk bareng dengan Pemkab Garut untuk menentukan sikap bersama secara proaktif, mengingat keduanya punya kepentingan untuk menghadapi kerentanan bencana di kawasan tsb.
  4. Hasil EKF KPHK Guntur-Kamojang-Papandayan menjadi dasar untuk menerbitkan Perda Kawasan Bandung Selatan (KBS) serta Perda turunannya seperti Perda Pengelolaan Mata Air.
  5. Hasil EKF KPHK Guntur-Kamojang-Papandayan menjadi dasar kebijakan program dari SK Tim Percepatan Pembangunan Berbasis Mikrodas di Kab. Bandung.
  6. Melanjutkan upaya pemulihan kawasan yg telah dilakukan oleh komunitas lokal maupun masyarakat dalam gerakan Save Ciharus serta restorasi kawasan yg sudah dilakukan Saung Monteng di kawasan lahan kritis Kamojang.
  7. Mendorong inisiasi hadirnya Taman Hutan Raya (Tahura) Gn. Wayang dan Taman Nasional (TN) Gn. Malabar sebagai warisan wilayah konservasi tambahan di era Bupati Dadang Supriatna sebagai bukti keberpihakan pada komitmen penyelamatan lingkungan.
  8. Nasib Kawasan Bandung Selatan sebagai benteng terakhir Tatar Ukur tergantung sikap Pemkab Bandung, karena menyelamatkan KBS adalah menyelamatkan nasib Cekungan Bandung terutama menghadapi krisis air di masa depan

Mangkraknya Program Jabar Resilience Culture Province

Pada tahun 2020 Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengeluarkan program Jabar Resilence Culture Province (JRCP), Program ini di maksudkan untuk merespon dimana Jawa barat sebagai daerah yang dinyatakan sebagai Ring of Fire memiliki potensi ancaman bencana yang cukup komplit, dengan sebaran gunung berapi yang paling banyak serta tempat berkumlnya lempeng-lempeng dunia. Sehingga di heran
bahwa Jawa Barat memasuki katagori wilayah yang rawan bencana.

Dalam program ini setidaknya terdapat 6 kegiatan yang di prioritaskan oleh Gubernur pada era Ridwan Kamil. Salah satu di antaranya:

  1. Resilience Citizens, yaitu: menciptakan masyarakat yang sadar resiko bencana, memiliki  kesiapsiagaan, tangguh dan mampu pulih segera bila terkena bencana;
  2. Resilience Knowledge, yaitu Iptek kebencanaan yang andal sekaligus memadukan kearifan lokal dan nilai sosial yang ada di Jabar.
  3. Resilience Infrastructure, yakni menciptakan infrastruktur dan sarana pembangunan yang tangguh dan sebagai alat mitigasi;
  4. Resilience Institution and Policy, yaitu sebuah kerangka regulasi dan kelembagaan yang mumpuni dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
  5. Resilience Ecology, yaitu membentuk daya dukung lingkungan yang baik, mampu mengurangi risiko bencana dan menjaga keberlanjutan pembangunan;
  6. Resilience Financing berupa kemampuan pembiayaan yang tangguh dalam
    penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk menjaga risiko investasi pembangunan.

Dalam rencana program JRCP ini WALHI anggap sama sekali tidak berjalan, malah cenderung terkesan mangkrak sama sekali tidak ada kegiatan setelah Gubernur Jawa barat merilis program ini pada tahun 2020. 6 kegiatan yang menjadi unggulan Ridwan Kamil hanya terkesan kamuplase, lebih jauh dari itu publik dapat meminta pertanggung jawaban serta informasi yang tranparasan kenapa program JRCP ini
tidak dapat di jalankan oleh Gubernur Jawa Barat.

Melihat situasi itu, kami atas nama Aliansi Orang Muda Bergerak (OMBAK) Jawa Barat, mendesak pemerintah Provonsi agar segera menjalankan:

  1. Zero Tolerance Policy. Segara jalankan penegakan hukum dan sanksi tegas kepada pelaku perusak lingkungan (tanpa pandang bulu);
  2. Segara jalankan transisi energi yang adil dan berkelanjutan, bukan transisi yang masih di anggap politis serta masih mengelenggangkan pelaku bisnis sehingga arah kebijakannya hanya terkesan akal-akalan dan hanya sekedar menjadi solusi Palsu;
  3. Segera maksimalkan program Citarum Harum yang hanya tersisa 10 bulan, prioritaskan kegiatan yang menyasar akar masalah salah satunya (Lahan Kritis, Penegakan Hukum, masalah Sampah, Pencemaran Limbah Industri, Limbah Ternak dan Penataan Ruang Wilayah yang buruk).
  4. Mendesak segera Pemprov Jabar agar membuat Perda KBU dan Perda KBS mengingat kerusakan tidak dapat terhindarkan dan perlu di ingat dua kawasan tersebut sebagai penyangga terakhir bagi keselematan hidup hajat orang banyak.
  5. Miminta pertanggung jawaban program JRCP yang telah di rilis oleh Ridwan Kamil, hal ini begitu penting mengingat dari kegiatan tersebut tidak lepas dari rencana anggaran APBD Provinsi yang wajib di sampaikan kepada publik secara akuntabel dan transparan.
  6. Segera lakukan Restorasi segera lahan kritis di Jawa Barat dan Pelarangan total pada alih fungsi lahan di Kawasan Lindung
  7. Segera lakukan Reformasi perizinan dan pengawasan lingkungan secara akuntabel dan transparan.
  8. Jalankan dengan nyata sinergitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui pembentukan kebijakan dan peraturan terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
  9. Jalankan ruang-ruang partisipatif dalam bentuk pelibatan masyarakat terhadap upaya penanganan masalah lingkungan di Jawa Barat.
  10. Berikan penghargaan secara nyata kepada komunitas dan berikan fasilitas serta edukasi pengelolaan sampah dan limbah kepada masyarakat secara nyata.
  11. Mendorong Pemprov Jabar untuk proaktif menolak Penurunan Status (down grade) Kawasan Cagar Alam (CA) menjadi Taman Wisata Alam (TWA) di KPHK Guntur Kamojang Papandayan, karena kontra produktif dengan upaya pemulihan kawasan dengan PERPRES 15 tahun 2018 tentang Citarum Harum.
  12. Mendorong Pemprov Jabar untuk menyetujui perluasan kawasan konservasi dengan merealisasikan hadirnya Taman Nasional Cikurai, Taman Nasional Malabar dan Tahura Gunung Wayang. Sehingga upaya penyelamatan kawasan konservasi menjadi lebih diutamakan daripada pemanfaatan secara ekonomi.

 

 

Catatan:

Anggota Aliansi Orang Muda Bergerak (OMBAK) Jawa Barat terdiri dari WALHI Jawa Barat, Sahabat WALHI (SAWA), FK3I Jawa Barat, PPM Nusantara, BEM Kema UNPAD, Mapala Bandung Raya, LBH Bandung, Lion Indonesia, PSDK Das Ciatrum, Lintas Peradaban UIN, Forum Akar, Forum Komunikasi Gunung Geulis, Bale Rancage. Hedjo Institut, Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC), Perkumpulan Yayasan Inisiatif.

Narahubung:
• Wahyudin Iwang Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat (081395367383)
• Hegel Bem Kema UNPAD  Koordinator Aksi Hari Lingkungan Hidup (081258108654)