Keniscayaan Pengelolaan Sampah di Kawasan Komersil

Munculnya Instruksi Gubernur Nomor: 02/PBLS.04/DLH Tentang Penanganan Sampah pada masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah Bandung Raya berdasarkan Risalah Rapat yang disepakati bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Kota di Metro Bandung dan KLHK yang mendorong pengurangan sampah organik ke TPA diakibatkan terjadinya kebakaran TPA Sarimukti Agustus tahun lalu.

Data survey WALHI di TPAS Sarimukti pada akhir Juni lalu menggambarkan, bahwa TPA Sarimukti masih menerima kiriman sampah dari empat Kabupaten/Kota di Bandung Raya mencapai 300-320 ritase perhari, setara 2.500 ton yang didominasi sampah organik sebanyak 70 persen. Penyumbang paling banyak kiriman sampah ke TPA ini adalah Kota Bandung yang mencapai 170 ritase yang apabila dikonversi ke berat (tonase) ±1.500 ton perhari.

Mengutip data DLH Provinsi Jawa barat tahun 2022 timbulan food waste Cekungan Bandung secara general sekitar 2.327 ton perhari. Sementara itu, khusus timbulan sampah food waste Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT) atau sampah organik dari kawasan komersil (pasar, hotel/restoran/kafe, rumah sakit, mall, rumah makan, dll) dari Cekungan Bandung sebesar 1.210 ton perhari dan Kota Bandung penghasil paling banyak mencapai 874 ton perhari atau 72,21 persen.

Kawasan komersil yang notabene memiliki izin usaha, apalagi kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Sampah khusus pada pasal 24, 27 dan 59 dapat dijadikan landasan hukum sebagai instrumen kontrol pemerintah Kota dalam mendorong mereka untuk mengelola sampahnya.

Mereka mempunyai sumber daya finansial yang cukup dibandingkan dengan kelompok pengelolaan di permukiman. Dengan begitu, kiranya akan lebih mudah dilakukan PemKot untuk mendorong pengelola kawasan komersil ini dalam pengelolaan sampah organiknya. Di satu sisi, kawasan komersil, sebagai kawasan yang memiliki lembaga pengelola juga harus bertanggungjawab untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri (tanpa harus membebani APBD).

Namun kenyataan berkata lain, Pemerintah Kota mengabaikan kewajiban mereka sebagai pihak yang harus melakukan sosialisasi, pendampingan serta monitorng dan evaluasi yang berkesinambungan agar proses pengelola sampah organik yang dihasilkan kawasan komersil ini bisa diimplementasikan oleh pengelola.

Pengamatan lapangan yang WALHI lakukan di salah satu kawasan komersil seperti Pasar Induk Gede Bage misalnya, dimana pasar induk ini memiliki potensi lahan yang bisa digunakan sebagai lokasi pengelolaan sampah tapi tidak dimanfaatkan baik oleh pengelola maupun oleh pemerintah dalam hal ini PD. Pasar. Selain itu, pasar ini juga memiliki Payuguban Warga Pasar Induk Gedebage (PWPIG) yang bisa dirangkul untuk bisa membantu mengatasi atau melakukan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kegiatan berjualan mereka pun tidak dilibatkan secara maksimal.

Tumpukan sampah di salah satu kawasan sudut Pasar Induk Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat.

Secara struktur, Pasar Induk Gede Bage berada di bawah naungan PD. Pasar Kota Bandung, namun faktanya terdapat 2 (dua) pihak, yaitu: PD. Pasar dan PT. Ginanjar. Dalam pengelolaan sampah beban tanggungjawab secara umum berupa penanganan dan pengurangan sampah jelas berada dibawah DLH Kota Bandung dengan khususnya PD. Pasar.

Beberapa tahun terakhir terjadi beberapa kali perubahan dalam manajemen atau pengaturan pengelolaan sampah karena buruknya management persampahan serta administrasi terkait dengan restribusi dalam bentuk iuran para pedagang pasar. Singkatnya DLH Kota Bandung tidak lagi mengurus pengelolaan sampah Pasar Induk Gede Bage secara langsung. Pengelolaan diserahkan secara penuh kepada PD. Pasar Kota Bandung. Tidak berselang lama PD. Pasar Kota Bandung pun merasa keberatan mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage karena alasan yang tidak jauh berbeda dengan DLH Kota Bandung. Selanjutnya, pengelolaan sampah diserahkan sepenuhnya kepada PT. Ginanjar, kemudian PT. Ginanjar memandatkannya kepada PWPIG untuk mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage.

Perlu diketahui jenis sampah Pasar Induk Gede Bage 85% adalah sampah organik didominasi oleh sayur-mayur dan buah-buahan, dengan ritase pengangkutan hingga 3 rit per hari, sekitar 40m3. PWPIG sempat melakukan pengolahan sampah organiknya dengan melakukan pencacahan tanpa perlakuan lain. Bahkan banyak perusahaan pengelolaan sampah yang sempat berdatangan untuk berkerjasama namun tidak satupun berjalan.

Dualisme pengelolaan (kelembagaan) pasar menambah kesemrawutan dalam pengelolaan sampah itu sendiri. Informasi ini kami peroleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang anggota Paguyuban perwakilan pedagang pasar. Ketidak-sinergian lintas instansi dinas (DLH) dengan BUMD adalah pemicunya. Dimana, kedua institusi ini tidak saling bantu bahu membahu mengatasi persoalan sampah di pasar ini.

Alih-alih menyelesaikan persoalan serta membenahi kondisi buruk yang ada, malah menyerahkan persoalan PERSAMPAHAN ini kepada pihak lain, tanpa arahan dan monitoring yang jelas. Sampah organik yang seharusnya diolah di sumber dengan mudah saja dibuang ke TPA Sarimukti yang jelas-jelas dilarang oleh Instruksi Gubernur, SELEMAH itukah INSTRUKSI GUBERNUR?!

Lain halnya hasil diskusi WALHI Jabar dengan AKAR (Asosiasi Kafe & Restoran) Jawa Barat yang diketuai Arif Maulana. Mereka sempat mengetahui adanya Ingub pelarangan sampah organik dibuang ke TPA dari beberapa kali kegiatan sosialisasi yang dilakukan PemKot dan itupun hanya berupa himbauan. Untuk implementasi berupa pendampingan, konsep serta alur pengelolaan bagaimana hampir tidak pernah dilakukan oleh Pemkot ataupun DLH Kota Bandung.

“AKAR merupakan salah satu penyumbang PAD terbesar di Kota Bandung (-/+) 30% dari total PAD Kota Bandung. Karena core bisnis kami dibidang pariwisata, maka kami konsen dan mendukung kebijakan pelarang sampah organik ke TPA karena persolan sampah ini sangat mempengaruhi usaha kami,” Ungkap Arif, Rabu (14/8/2024).

Sebagai informasi, bahwa tarif retribusi persampahan yang dibebankan pada Kafe & Restoran ini sebesar Rp. 600.000,- perbulan dan belum biaya yang harus mereka keluarkan sebagai upah pengangkutan yang dilakukan oleh petugas penarikan ke TPS terdekat yang rata-rata mereka harus keluarkan perbulannya sebesar Rp. 300.000,-

“Meskipun berat bagi kami untuk mengelola sampah secara mandiri, jika itu menjadi kebijakan pemerintah kami akan patuhi. Hanya saja, restribusi sampah yang dibebankan pada kami selama ini harus dibebaskan atau ditiadakan untuk kami pergunakan sebagai biaya dalam pengelolaan secara mandiri tersebut,” tambah Arif.

Disisi lain, Arif mendorong agar kedepannya ada atau lahir aturan pengelolaan sampah di kawasan komersil yang jelas, terarah dan terukur dari mulai konsepnya, pembinaan serta pengawasan atau reward maupun punisment.

Pemerintah Kota Bandung ataupun pemerintah kabupaten/kota lainnya yang berada di kawasan Cekungan Bandung, dalam konteks pelaksanaan instruksi gubernur atau kebijakan diatasnya yang terkait dengan tanggungjawab masing-masing kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah harus lebih memfokuskan penanganan dan penanggulangan sampah dari kawasan komersil ini agar timbulan sampah organik dari kawasan ini diminimalisir.

Pemerintah kota juga harus berusaha merubah paradima pengelolaan sampah, bahwa pemecahan masalah atau penanggulangan sampah lebih penting ketimbang fokus atau menghitung-hitung untung rugi terhadap PAD dari retribusi persampahan yang didapatnya.

 

Penulis:

M. Jefry Rohman [Koordinator Advokasi Kebijakan Persampahan Bandung Raya]

089517833545