“Memperjuangkan persoalan lingkungan hidup, sama artinya dengan memperjuangkan kehidupan” – Muit Pelu, LBH Bandung, pada salah satu agenda Kelas Pendidikan Energi yang berlangsung di Indramayu, 22-23 Juli 2023.
Mengupayakan keadilan untuk lingkungan hidup turut menjadi tolok ukur kemajuan peradaban bangsa. Berangkat dari konsep pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati dunia, keadilan antargenerasi (intergenerational equity) menjadi salah satu prinsip yang diakui secara universal. Gagasan keadilan antargenerasi, melahirkan kewajiban untuk merawat lingkungan hidup secara bertanggung jawab.
Melalui Kelas Pendidikan Energi, WALHI Jawa Barat kembali memperkenalkan kepada generasi muda di Indramayu menyoal skema Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan diimplementasikan di Indonesia selama beberapa tahun mendatang, sebagaimana kelas yang sama juga telah dilaksanakan untuk anak muda di Cirebon tempo lalu.
“Kedaulatan energi dan demokrasi energi, yang sekarang terjadi di ETM dan JETP sebenarnya tidak demokratis. Banyak dari kita yang tidak diajak berbicara dan isu ini sangat sentralistis,” Dwi Sawung, Eksekutif Nasional WALHI, (23/7/2023)
Utang dan Lingkungan: Isu Keadilan Antargenerasi
Dalam deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio[1], prinsip keadilan antargenerasi memuat prinsip bahwa pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kebutuhan hidup generasi mendatang. Pakar etika publik Janna Thompson (1999) juga merumuskan bahwa teori keadilan antargenerasi mempersoalkan masalah lingkungan sebagai isu utama. Prinsip inipun telah diadopsi ke dalam perundang-undangan nasional Indonesia, terutama dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Ini berarti, gagasan keadilan antargenerasi mengharuskan adanya kompas moral bagi para pembuat kebijakan dalam situasi perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang masif. Pemerintah diberbagai negara, termasuk Indonesia, seharusnya tidak hanya memikirkan manfaat bagi generasi sekarang yang justru menghilangkan hak generasi mendatang untuk turut menikmati bumi yang lestari.[2]
Hal senada turut disampaikan oleh Wahyudin yang kerap disapa Iwang, selaku Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat. “Ketika kita berbicara tentang kebijakan pembangunan, tidak dipungkiri akan berdampak pada situasi dan kondisi lingkungan dan sosial, tidak hanya hari ini tapi juga masa depan” ujar Iwang, (23/7/2023).
Karenanya, kawula muda yang pada hari ini direpresentatifkan oleh milenial dan gen Z, harus mengetahui kebijakan yang muncul pada hari ini, khususnya yang berdampak ke masa depan. Dalam konteks skema JETP & ETM, adalah hak bagi publik terkhusus anak muda, untuk mendapat keterbukaan informasi dan terlibat aktif; sebagai cerminan demokratisasi pengambilan keputusan diranah lingkungan hidup, dan hak atas lingkungan hidup itu harus dijamin oleh negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Oleh karena skema pendanaan JETP & ETM lebih dominan berbentuk hutang, kita semua diperbolehkan untuk kritis terhadap kebijakan berutang pemerintah dari pengajuan utang dan pemanfaatannya karena kebijakan yang mereka putuskan hari ini akan memunculkan beban di masa depan, agar tak mencedarai prinsip keadilan sebagaimana prinsip “Just” pada istilah JETP.
Keadilan Lintas Masa: Dulu, Kini, dan Nanti
Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Program Trend Asia menyebutkan, hari ini, bumi makin memanas akibat Emisi Gas Rumah Kaca dengan kenaikan suhu 1,1 derajat dibandingkan sebelumnya. Jika dibiarkan, krisis iklim makin tak terkendali dengan meningkatnya ragam bencana hidrometeorologi yang makin tak terprediksi. Sementara menurut Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), Indonesia terus kehilangan 680 ribu hektar hutan setiap tahunnya.
Kerusakan lingkungan mengancam kualitas hidup manusia di masa depan karena terkikisnya sumber-sumber kehidupan seperti kehancuran tempat tinggal, kelangkaan pangan serta hilangnya air bersih. Pembangunan yang saat ini dilakukan, kerap kali tidak mempertimbangkan persoalan ekologi didalamnya. Pada persoalan berikutnya, selain pembangunan kasat mata, keadilan antargenerasi memerlukan pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Dengan menggunakan pendekatan kapabilitas (capabilities approach) oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum, Alex Richardson menyebut istilah “kapasitas ekologi” sebagai pra-syarat untuk mencapai kapabilitas inti pembangunan manusia yang terdiri atas pendidikan, kesehatan, dan kelayakan hidup. Maksudnya, kapabilitas manusia dalam hal hidup layak, pendidikan, maupun kesehatan pertama-tama bergantung pada sejauh mana daya dukung lingkungan mampu menopangnya.
Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan juga memastikan terjadinya keadilan yang tidak hanya bersifat temporal, tapi juga antar waktu. Dimana generasi sekarang dalam pembuatan kebijakan, harus memastikan hak-hak lingkungan generasi masa depan.
Dengan memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh akses ke sumber daya lainnya, maka generasi saat ini dan masa depan dapat mengurangi kesenjangan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dapat memperburuk keadilan antargenerasi.
“Pemangku kebijakan, harus memberikan ruang untuk partisipasi rakyat untuk membuat kebijakan. Misal dalam izin mendirikan bangunan, dokumen-dokumen pendukung harus dipublikasikan, harus mengakomodir hak dan aspirasi-aspirasi rakyat…” Tegas Iwang, Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat (23/7/2023).
Catatan penulis:
[1] Pengakuan atas Intergenerational Equity dalam kasus-kasus Lingkungan Hidup [selengkapnya: https://www.hukumonline.com/stories/article/lt64572defd7b89/pengakuan-atas-intergenerational-equity-dalam-kasus-kasus-lingkungan-hidup]
[2] University of Zurich’s Centre for Ethics