Sekitar satu jam dari alun-alun sumedang, terdapat sebuah waduk yang merupakan waduk terbesar kedua di Indonesia. Pembangunan waduk ini sudah direncanakan sejak zaman orde lama namun berhenti paska Sukarno tumbang tahun 1965. Setelah mangkrak puluhan tahun, Mulai kembali dibangun pada tahun 2008 di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono dan diresmikan pada tahun 2015. Pembangunan waduk ini menjadi prioritas dalam rencana pembangunan pemerintah dari masa kepresidenan SBY hingga Jokowi. Ini terlihat dalam dokumen rencana pembangunan baik itu MP3EI maupun RPJMN milik Jokowi pada periode pertama.
Pembangunan Waduk Jatigede menghabiskan lahan 4.983 hektar dan mampu menampung air 980 juta m3 . Waduk yang direncanakan untuk mengairi irigasi, pembangkit listrik dan pengendali banjir ini masih menyisakan berbagai macam masalah.
Melihat kembali empat tahun kebelakang, dalam proyek penggenangan waduk Jatigede terdapat 1.400 hektar hutan yang ikut tenggelam bersama beberapa desa di wilayah itu, yakni Kecamatan Jatigede, Kecamatan Jatinunggal, Kecamatan Wado, dan Kecamatan Darmaraja yang dihuni 11.469 Kepala Keluarga (KK).
Pembangunan tersebut juga berdampak secara sosial, budaya dan lingkungan yang sangat merugikan rakyat. Mulai dari belum tuntasnya permasalahan ganti rugi lahan, belum siapnya relokasi, belum dipersiapkannya perubahan sosial dari masyarakat petani menjadi masyarakat perikanan, menenggelamkan sekitar 48 situs bersejarah peninggalan nenek moyang mereka, adanya proses peralihan kepemilikan hutan milik PT Perhutani yang tidak transparan, lokasi pembangunan waduk didaerah rawan gempa, ditambah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang keadaannya sudah rusak karena penggundulan.
Proyek pembangunan waduk ini pun menyebabkan pembukaan jalan baru, mulai dari daerah Wado di Kabupaten Majalengka hingga ke daerah Darmaraja Kabupaten Sumedang sepanjang 15 kilometer, yang malah menambah rentetan masalah lainnya yaitu pembebasan lahan.
Hari ini Kamis (14/11) sekitar 15 warga Desa Lesten Aceh mendatangi Desa Cipaku yang merupakan lokasi dari Waduk Jatigede. Warga Desa Lesten datang bukan untuk berwisata, melainkan untuk mendengar secara langsung dari warga Desa Cipaku mengenai dampak sosial budaya maupun lingkungan yang terjadi akibat adanya pembangunan Waduk Jatigede ini.
Pasalnya di Desa Lesten, akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I seluas ± 4.407 hektar. Pembangunan mega proyek tersebut berada di kawasan ekosistem leuser. Dimana pembangunan ini akan menimbulkan pembukaan hutan dan pemburuan. Seperti yang kita ketahui, kawasan ekosistem leuser merupakan kawasan hutan hujan yang sangat penting untuk bumi dan memiliki beragam satwa, salah satunya merupakan habitat Gajah Sumatra. Dengan rencana pembangunan mega proyek ini sudah pasti akan berdampak pada penurunan fungsi lindung dari kawasan ekosistem hutan leuser. Tidak hanya itu, keberlangsungan hidup masyarakat sekitar pun akan merasakan dampak dari pembangunan PLTA Tampur ini. Salah satunya adalah perubahan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan.
Jika dilihat dari berbagai aspek, proyek pembangunan PLTA di wilayah Aceh sangat tidak relevan, karena di Aceh saat ini sudah mengalami surplus listrik dengan adanya 20 pembangkit listrik yang beroperasi, di mana 7 di antaranya merupakan PLTA.
Puing-puing rumah, nisan bekas pemakaman umum dan pohon-pohon kering menjadikan Waduk Jatigede yang sedang surut kala itu terlihat seperti kota mati. Hal ini menjadi pemandangan baru bagi warga desa Lesten yang kehidupan sehari-harinya tinggal dan bergantung pada hutan dan sungai dengan keanekaragaman hayati yang masih terjaga.
Warga Desa Cipaku bukan hanya menceritakan bagaimana dampak dari pembangunan Waduk Jatigede ini saja. Namun perjuangan warga untuk menuntut hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan pun menjadi pembahasan yang tidak terlewatkan. Mulai dari membangun persatuan antar warga melalui organisasi yang diisi dengan pendidikan menjadi salah satu bentuk perlawanan mereka terhadap kesewenang-wenangan. Perlawanan ini tidak selalu berjalan mulus, adanya intimidasi kepada warga, kriminalisasi hingga praktik pecah belah kekuatan perlawanan warga banyak dilakukan demi memuluskan proyek pembangunan Waduk jatigede ini.
Aceh dan Sumedang sejak dulu sudah memiliki ikatan emosional yang sangat kuat. Pahlawan Nasional Aceh Cut Nyak Dien, berjuang pada masa perang Aceh. Beliau dianggap memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat hingga akhirnya diasingkan ke Sumedang oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1906. Sosok Cut Nyak Dien sangat berarti bagi warga Sumedang. Beliau mengajarkan kita untuk mempertahankan prinsip-prinsip anti penjajahan. Jika Cut Nyak Dien dulu berjuang melawan panjajahan belanda, hari ini Warga Cipaku, dan Warga Lesten sedang bersama-sama bejuang melawan kesewenang-wenangan yang terjadi di Desa mereka.