Co-firing Biomassa PLTU: Solusi Palsu dan Inkonsistensi Komitmen Pemerintah Soal Transisi Energi

Aktivitas PLTU 1 di Indramayu menyebabkan beberapa masyarakat terkena Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), lucunya ada pernyataan dari Dinas Kesehatan Indramayu bahwa kualitas udara di sana (red: daerah terdampak) itu dinyatakan sehat, padahal tidak ada alat untuk mengukurnya,” pungkas Eri Eriawan.

Eri adalah salah satu keterwakilan dari sekian banyak warga yang mengeluhkan bagaimana situasi buruk yang ia alami di kampung halamannya, imbas dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Indramayu.

Eri juga bercerita, bagaimana kemudian pemerintah tidak transparan ketika warga meminta dokumen publik terkait efek yang mungkin akan mucul ketika ada aktivitas dari berdirinya PLTU. “Namun dinas terkait hanya memberikan selembar kertas, dan ini menjadikan kesulitan bagi warga untuk menganalisis,” Tambahnya.

Tak sampai disitu, Eri menyampaikan terkait ketersediaan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar yang ternyata tidak sesuai dengan janji yang sejak awal di iming-imingi. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, kegiatan nelayan semakin sulit sebab ikan yang ditangkap menjauh seiring dengan pembuangan ke laut lepas yang dilakukan oleh pihak PLTU. Nelayan di Indramayu harus menempuh jarak yang jauh untuk melaut dan mengeluarkan modal lebih untuk dapat ikan.

Hal serupa turut dikeluhkan oleh Lalu Fahrudin dan Rendy Pratama, selaku warga yang terdampak oleh aktivitas PLTU di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Fahrudin, yang rumahnya hanya berjarak 4 km dari PLTU bercerita, bagaimana ikan-ikan yang dahulunya “tumbuh subur” di laut, akhrinya menghilang seiring adanya limbah aktivitas PLTU.

“Sekarang mau melaut saja susah harus ke Cianjur selatan. Gak ada ikan, ekonominya gak jalan. Limbah PLTU dibuang ke laut, udah mah panas, bau. Terus di tambah serbuk kayu itu bukan seratus persen dari material, udah kecampur sama tanah. Jadi banyak penyakitnya batuk dan gatal. RS Pelabuhan Ratu itu penuh dengan anak-anak kena penyakit,” tutur Lalu Fahrudin, dengan getir bercerita dalam agenda diskusi publik, Senin (19/6/2023).

Tak berbeda dengan Fahrudin, Rendy yang merupakan nelayan muda di Pelabuhan Ratu itu juga berkeluh, “Dulu adanya ikan itu bisa diprediksi, kalau sekarang tidak bisa diprediksi, sekarang cuaca aja sulit diprediksi. Soal penyakit juga itu semenjak dicampur serbuk kayu itu jadi tambah gatal, mungkin debu dibawa air.” Sambung Rendy.

Beberapa pengakuan diatas, adalah sepenggal kisah dari mereka yang terdampak; yang turut dihadirkan dalam agenda diskusi publik yang berlangsung pada hari Senin, 19/6/2023 dengan dihadiri rekan-rekan mahasiswa. Tak hanya Eri, Fahrudin dan juga Rendy. Ada banyak warga-warga lain yang juga merasakan nestapa dari bertahun-tahun PLTU yang sudah beroperasi.

Tenaga Listrik yang Berlebih, Pembangunan untuk Siapa?

Jawa Barat memiliki kurang lebih 15 pembangkit listrik, empat di antaranya adalah PLTU yang telah beroperasi dan satu PLTU dalam tahap pengembangan. Sisanya ada enam PLTA, tiga PLTP, dan dua PLTGU.

Dari 15 pembangkit tersebut, listrik yang dihasilkan sebesar 8.853,14 Megawatt Hour (MWh). Sedangkan beban puncak tenaga listrik tertinggi yang dicapai pada Maret 2020 adalah sebesar 7.712 MWh. Itu artinya kelistrikan di Jawa Barat sudah kelebihan suplai (over-supply).

Di dalam dokumen Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Jawa Barat, target pemodelan pembangkit tenaga listrik tahun 2025 sebesar 22,59 GWh dan tahu 2050 sebesar 78,03 GWh. Konsumsi batu bara juga meningkat hingga di angka 69,43 juta ton di tahun 2050.

Proyeksi ini berpotensi kontradiktif dengan Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan peran batu bara hanya akan 25% dalam bauran energi primer. Hal ini juga beriringan dengan lahirnya kawasan industri baru seperti Kawasan industri KNIC, kawasan industri Pertiwi Lestari dan Pelabuhan Patimban, serta hadirnya berbagai bisnis berkebutuhan listrik besar seperti kereta cepat, Data Center Deltamas, pabrik baterai dan pabrik kendaraan listrik.

Alih-alih untuk masyarakat, skema-skema yang diberikan oleh pemerintah lebih terkesan seperti skema bisnis yang sebenarnya tidak berpihak pada penurunan pencemaran lingkungan.  Ada indikasi bahwa energi yang disiapkan, cenderung untuk menyuplai kawasan industri-industri baru di Jawa Barat.

“Sedangkan narasi yang dibangun pemerintah itu untuk masyarakat, tapi berbicara atau melihat faktanya untuk pembangunan infrastruktur, belum lagi Jawa Barat memiliki 32 proyek strategis nasional, jadi ini untuk masyarakat yang mana?”, ujar Wahyudin, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, yang kerap disapa Iwang, Senin, (19/6/2023).

Co-firing, Klaim yang Keliru, dan Potensi Masalah

Co-firing adalah pencampuran bahan bakar PLTU batu bara dengan biomassa yang digolongkan ke dalam energi terbarukan. Biomassa dimanfaatkan sebagai bahan pengganti sebagian (substitusi parsial) batu bara untuk di bakar dengan rasio tertentu.  Rencana co-firing ditujukan untuk mendukung pengembangan EBT (Energi Baru Terbarukan) di Indonesia.

Ada empat jenis biomassa yang akan dipakai PLN dalam co-firing biomassa ini: hutan energi, limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri, dan sampah rumah tangga. Beberapa contohnya seperti wood pellet, cangkang sawit, dan sawdust (serbuk gergaji).

Masalahnya kemudian adalah, co-firing tetap menghasilkan emisi gas rumah.  Klaim co-firing biomassa netral karbon adalah klaim yang keliru, karena seluruh emisi yang dihasilkan dari mulai pembukaan hutan hingga pembakaran biomassa di PLTU akan menjadi hutang karbon yang tidak mungkin dilunasi dari penanaman hutan tanaman energi.

Hasil riset dari Trend Asia yang juga tergabung dalam koalisi ini menunjukan, co-firing di 52 PLTU memproduksi emisi hingga 26,48 juta ton setara emisi karbon atau dua kali perhitungan PLN. Karena bahan bakar berasal dari biomassa pohon, artinya, sumber energi berasal dari pohon yang ditanam. Co-firing PLTU batu bara akan menimbulkan deforestasi 2,33 juta hektare.

“Pohon yang digunakan untuk co-firing itu, penanamannya itu monokultur, dia berpotensi merusak biodiversitas, skemanya tidak kemitraan, dan itu yang membuat warga disana tidak  mendukung itu, klaim transisi energi nyatanya memicu kekacauan energi dengan kapasitas jutaan tonase yang buruk” tutur, Bayu, perwakilan dari Trend Asia yang turut hadir dalam agenda Diskusi Publik, (19/6/2023).

Bayu juga menyebutkan, selain berpotensi menambah gas rumah kaca, teknologi co-firing bisa menimbulkan konflik lahan di lapisan masyarakat.

Lemahnya Komitmen Pemerintah Soal Transisi Energi

Dalam RUED, tercantum bahwa ketergantungan pemerintah terhadap kebutuhan batu bara masih tinggi hingga 2050. Capaian bauran energi hingga saat ini belum memenuhi target yang sudah direncanakan pada RUED, artinya situasi ini tidak mencerminkan komitmen pemerintah pusat hingga pemerintah daerah untuk segera mengurasi emisis dari sektor energi, sesuai yang dijanjikan presiden.

Kebijakan baru tentang co-firing biomassa bukan acuan yang tepat untuk mengurangi emisi karbon. Berlawanan dengan tujuan awal, implementasi teknologi ini justru akan menimbulkan konflik-konflik baru seperti konflik lahan, agraria, perusakan lingkungan, sosial masyarakat, dan sebagainya.

Maulida Zahra, perwakilan dari LBH Bandung mengatakan jika ingin menuju transisi energi yang berkeadilan, pemerintah tidak boleh mewujudkan target elektrifikasi atau mengimplementasikan proyek transisi energi yang merampas ruang hidup masyarakat. Berkeadilan yang dimaksud itu EBT tidak hanya untuk satu golongan, golongan lainnya dapat dampaknya aja,” Ujar perempuan yang kerap disapa Maul, (19/6/2023)

Maul menambahkan, komitmen dan sikap pemerintah masih belum konsisten lantaran dalam kesepakatan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia menyepakati untuk mengurangi laju perubahan iklim, akan tetapi, tidak membuat aturan yang mengikat.

“Indonesia ikut menandatangani tapi kemudian oleh pemerintah belum dituangkan dalam kebijakan karena secara peraturan belum ada yang mengikat dengan persfektif keadilan itu sendiri, ” tambah Maul, (19/6/2023)

Foto: Koalisi Untuk Energi Bersih Jawa Barat menggelar diskusi publik “Jawa Barat dalam Ancaman Solusi Palsu Energi Baru Terbarukan” di Aula Gedung Student Center, Universitas Islam Bandung (UNISBA), Senin (19/6/2023). Koalisi yang kemudian dinamai Kutub Jabar adalah gabungan organisasi masyarakat sipil yang independent, yang terdiri dari WALHI Jawa Barat, LBH Bandung, Perkumpulan Inisiatif, LION, ALBIN, FK3I Jabar, AP2SI Jabar, Trend Asia, dan XR Indonesia