Catatan Kritis Bersama Koalisi BI Atas Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif JETP 2023

Pesan Utama

  1. [Kami] mengetahui dan menghargai kerja Sekretariat JETP dan mitranya dalam mempersiapkan rancangan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) untuk konsultasi publik. Kami mendukung tujuan keseluruhan untuk mengkatalisasi pendanaan bagi transisi energi yang berkeadilan di Indonesia, dan kami menghargai pentingnya JETP bagi Indonesia untuk bergerak maju secepatnya untuk mencapai transisi ini.
  2. Namun, kebutuhan untuk menyelesaikan CIPP tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar publik atas transparansi dan partisipasi bermakna. Publik hanya diberikan waktu 14 hari untuk memberikan komentar publik terhadap draf CIPP (1-14 November 2023), dan rancangan CIPP dalam Bahasa Indonesia baru tersedia pada 10 November 2023, tiga hari kerja sebelum tenggat waktu pengajuan masukan.
  3. Akibatnya, kami belum bisa memberikan tanggapan secara rinci mengenai substansi rancangan CIPP. Komentar kami utamanya berfokus pada permasalahan partisipasi masyarakat dalam proses JETP, termasuk kurangnya waktu dan informasi bagi masyarakat sipil untuk terlibat dan memahami proposal substantif yang disajikan dalam rancangan CIPP. Dalam komentar-komentar ini, kami hanya dapat menyampaikan kekhawatiran tingkat tinggi mengenai kesenjangan kebijakan dan investasi yang diperlukan untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.
  4. Sebagai prioritas, kami mendesak Sekretariat JETP, IPG dan mitra serta investor lainnya untuk meningkatkan investasi terhadap proses diseminasi dan dialog publik CIPP, sebagai berikut:
    • Memperpanjang periode penyebaran informasi dan komentar publik, setidaknya hingga delapan minggu sejak tersedianya terjemahan resmi rancangan CIPP dalam Bahasa Indonesia (10 November 2023), untuk memungkinkan partisipasi yang bermakna;
    • Menyampaikan secara langsung pesan-pesan utama CIPP, baik secara langsung dalam bentuk konsultasi publik, serta dan dalam format-format terdokumentasi lainnya, seperti lembar fakta, infografis, [konten digital], dengan dan bahasa yang mudah dipahami oleh pemangku kepentingan yang paling rentan, termasuk pekerja, komunitas yang terkena dampak di daerah terpencil dan pedesaan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat, terutama di lokasi-lokasi di mana proyek-proyek prioritas JETP akan dilaksanakan, termasuk di daerah terpencil dan pedesaan;
    • Mempublikasikan secara luas kesempatan untuk berpartisipasi, setidak-tidaknya dengan menggunakan minimal siaran radio publik dalam bahasa Indonesia, surat kabar tingkat nasional dan regional/provinsi serta outlet media online serta iklan pada media sosial;
    • [Mengungkapkan seluruh catatan konsultasi publik, ringkasan respon terhadap keberatan, masukan, dan usulan yang diajukan, serta konklusi apakah keberatan, masukan dan usulan dapat diintegrasikan dalam CIPP;]
    • Menunjuk penanggung jawab dan kanal komunikasi yang jelas bagi publik untuk meminta dibukanya basis data, informasi dan dokumen-dokumen pendukung modeling, serta asumsi-asumsi yang digunakan dalam CIPP;
    • Memperluas dan mempercepat pembentukan mekanisme pengaduan  agar tidak terbatas pada untuk implementasi proyek-proyek yang didanai JETP, namun yang juga mencakup menyediakan sarana untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam proses konsultasi publik CIPP yang sedang terjadi sekarang dan review CIPP di masa mendatang, selain untuk mendukung implementasi proyek-proyek yang didanai JETP; dan
    • Memasukkan akses terhadap informasi, partisipasi dan keadilan sebagai salah satu kebijakan pendukung implementasi JETP dalam CIPP, dengan mengakui bahwa hal ini penting untuk mencapai transisi yang berkeadilan

5. Kami juga meminta Sekretariat JETP untuk membuat standar dan prosedur partisipasi publik dan membuat informasi ini aksesibel bagi publik, baik dalam proses CIPP yang sedang terjadi sekarang maupun untuk proses review dua tahunan CIPP mendatang. Standar ini setidak-tidaknya memberikan kejelasan mengenai:

    • Standar pemberian informasi dan akses terhadap dokumen yang akan dikonsultasikan, termasuk bahasa yang digunakan dalam dokumen yang disediakan;
    • Standar dan rentang waktu penyederhanaan informasi kunci dalam dokumen yang akan dikonsultasikan;
    • Periode konsultasi publik;
    • Prosedur dan kriteria dokumentasi, respon, dan integrasi (atau penolakan) masukan publik;
    • Mekanisme keberatan yang dapat ditempuh apabila terdapat pihak (individu ataupun badan) yang merasa hak atas informasi dan partisipasinya dalam proses konsultasi publik CIPP tidak terpenuhi.

6. Selain itu, kami menyampaikan kekhawatiran kami terkait substansi JETP, termasuk namun tidak terbatas pada hal-hal di bawah ini:

    • Pendekatan pembiayaan JETP dan konsekuensi finansialnya terhadap keuangan negara. Skema ‘bantuan’ yang diajukan CIPP akan menjadi beban utang negara jangka menengah dan jangka panjang yang akan menjadi tanggungan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan, sehingga skema kerjasama dan investasi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel dan terhindar dari jebakan utang yang hanya menjadi beban ekonomi bagi sektor pembiayaan maupun fiskal.
    • Konsekuensi lingkungan hidup dan sosial-ekonomi dari solusi transisi energi palsu dalam proyek prioritas CIPP. Misalnya, besarnya investasi bioenergi dibarengi dengan indikasi perluasan konsesi Hutan Tanaman Energi yang sedang digalakan pemerintah.

 

PERMASALAHAN PROSEDURAL

Proses JETP

  1. Kami tidak dapat berpartisipasi secara berarti dalam rancangan CIPP karena waktu yang diberikan untuk konsultasi publik tidak mencukupi, meskipun hukum Indonesia dan internasional menjamin partisipasi publik yang bermakna sebagai hak warga negara. Periode komentar publik selama dua minggu dan publikasi rancangan undang-undang dalam bahasa Indonesia yang baru tersedia tiga hari kerja sebelum tenggat pengajuan masukan tidak memungkinkan adanya partisipasi publik yang berarti, terutama oleh organisasi masyarakat sipil dan komunitas terdampak di Indonesia.

Mekanisme partisipasi publik pada CIPP tidak memperbaiki kemunduran yang diakibatkan proyek-proyek bahan bakar fosil

  1. Transisi yang adil memerlukan pendekatan partisipatif. Proyek-proyek yang didanai JETP harus mematuhi standar internasional tertinggi dalam hal akses informasi dan partisipasi masyarakat, dan tidak melanggengkan atau memperparah hambatan prosedural terhadap partisipasi yang lazim terjadi selama percepatan pembangunan proyek-proyek bahan bakar fosil di Indonesia.
  2. JETP perlu memastikan percepatan energi bersih di Indonesia tidak mengulang sejarah penyempitan partisipasi publik yang terjadi selama pembangunan berbasis bahan bakar fosil. Rancangan CIPP menawarkan mekanisme pengaduan untuk proyek-proyek yang akan didanai JETP, namun tidak cukup mengakui dan mengusulkan perbaikan kebijakan partisipasi publik yang selama ini tidak diimplementasikan dengan baik, bahkan mengalami kemunduran signifikan, dalam masa percepatan proyek-proyek bahan bakar fosil di Indonesia.

a. Percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara hingga saat ini belum memenuhi hak atas informasi dan partisipasi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    • Berbagai gugatan perizinan pembangkit listrik tenaga batu bara, seperti PLTU Cirebon 1.000 MW, PLTU Indramayu 2.000 MW, PLTU Celukan Bawang 660 MW, PLTU Teluk Sepang 200 MW, dan PLTU Jambi 600 MW, telah mempertanyakan kegagalan pemilik proyek atau pemerintah untuk mengungkapkan informasi perizinan dan lingkungan hidup serta berkonsultasi secara bermakna dengan pemangku kepentingan yang terkena dampak. Fakta-fakta dalam kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana masyarakat sipil tidak memiliki akses yang tepat waktu, dan dalam beberapa kasus tidak memiliki akses sama sekali, terhadap dokumen-dokumen penting, termasuk dokumen perizinan dan AMDAL. Tidak ada cara yang efektif dan efisien untuk mengakses dokumen-dokumen tersebut.
    • Menanggapi tantangan-tantangan hukum ini, pemerintah justru mengurangi upaya perlindungan partisipasi lingkungan hidup, termasuk melalui revisi berbagai undang-undang dan peraturan. Persyaratan yang berlaku telah ditafsirkan secara sempit untuk membatasi akses pihak-pihak yang terkena dampak ke pengadilan, dan tidak ada perlindungan bagi anggota masyarakat yang menghadapi ancaman ketika menentang proyek bahan bakar fosil.

b. Selain itu, pemerintah Indonesia gagal memastikan aksi perubahan iklim dan proses pembuatan kebijakan bersifat inklusif, partisipatif, dan adil. Misalnya, pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi konsultasi publik terkait kegiatan padat karbon dengan cara sebagai berikut:

    • Proyek padat karbon dan solusi adaptasi rekayasa-keras dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dapat melewati persyaratan partisipasi masyarakat.
    • Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, “pembangunan untuk kepentingan umum” diberikan kemudahan penggunaan lahan tanpa melakukan analisis mengenai dampak lingkungan, tidak diwajibkan untuk menghindari tumpang tindih dengan kawasan konservasi, dan dapat mengambil alih lahan dari pemilik lahan sekalipun tidak disetujui pemilik.
    • Pemerintah menyederhanakan persyaratan keterlibatan masyarakat dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain dengan: (i) membatasi ruang lingkup konsultasi publik mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sehingga pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang tidak terkena dampak langsung keputusan dalam AMDAL tidak wajib untuk dilibatkan. Selain itu, berdasarkan UU Cipta Kerja, mekanisme keterbukaan informasi mengurangi frekuensi, jangka waktu, dan cara penyampaian informasi rencana kegiatan.

c. Terlepas dari kegagalan dalam memenuhi hak-hak prosedural di Indonesia, mitra JETP harus memastikan bahwa kebijakan terkait transparansi dan partisipasi dalam proyek-proyek yang diusulkan dalam CIPP sejalan dengan standar internasional tertinggi. Standar internasional untuk pengambilan keputusan lingkungan memerlukan konsultasi dan partisipasi publik yang bermakna, akses terhadap informasi, dan akses terhadap keadilan bagi semua pihak yang terkena dampak:

    • Prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan bahwa: “Permasalahan lingkungan hidup paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga negara yang peduli, pada tingkat yang relevan. Di tingkat nasional, setiap individu harus memiliki akses yang sesuai terhadap informasi mengenai lingkungan hidup yang dimiliki oleh otoritas publik… Negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dengan membuat informasi tersedia secara luas. Akses yang efektif terhadap proses peradilan dan administratif, termasuk ganti rugi dan pemulihan, harus diberikan.”
    • Sehubungan dengan pengembangan kebijakan, undang-undang dan peraturan lingkungan hidup, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup, John H. Knox, menegaskan kembali bahwa, “draft harus tersedia untuk umum dan masyarakat harus diberikan kesempatan untuk memberikan komentar secara langsung atau melalui badan-badan perwakilan.” Negara juga harus memberikan anggota masyarakat “kesempatan yang memadai untuk mengekspresikan pandangan mereka.” Pelapor Khusus juga menyatakan bahwa negara-negara perlu memastikan “pendekatan yang inklusif, adil dan berbasis gender terhadap partisipasi masyarakat dalam semua tindakan terkait perubahan iklim.”
    • Dalam mengupayakan transisi yang benar-benar adil, mitra JETP harus memastikan bahwa hak prosedural dasar masyarakat Indonesia dan standar internasional, baik terkait instrumen hak maupun pembiayaan, ditegakkan untuk semua kegiatan terkait JETP di Indonesia.

d. Komunikasi yang buruk dan kurangnya konsultasi dengan masyarakat lokal dan kelompok yang terkena dampak dapat menghambat implementasi JETP, seperti yang ditunjukkan oleh contoh di Afrika Selatan. Kelompok masyarakat sipil meminta kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam pengembangan Rencana Investasi JETP Afrika Selatan, namun mereka tidak diberi akses terhadap rancangan rencana tersebut atau diberikan waktu yang cukup untuk menyiapkan pengajuan tertulis. Akibatnya, serikat pekerja menyerukan penangguhan JETP di Afrika Selatan, karena mereka tidak diajak berkonsultasi secara memadai mengenai dampak transisi yang diusulkan terhadap mereka. Contoh ini menunjukkan bahwa konsultasi publik dan pengungkapan informasi yang relevan sangat penting dalam membentuk izin sosial untuk melaksanakan rencana transisi JETP Indonesia.

 

Kegagalan untuk memastikan transparansi dan keterbukaan informasi publik

  1. Kami juga meminta Sekretariat JETP untuk memastikan transparansi dan mengungkapkan semua informasi relevan yang diperlukan masyarakat untuk meninjau dan memahami CIPP.

a. Sekretariat JETP harus memastikan transparansi dan mengungkapkan semua informasi relevan mengenai status keuangan pembangkit listrik tenaga batu bara milik PLN, termasuk subsidi yang telah dan akan terus mereka terima dari dana publik Indonesia. Berdasarkan data yang tersedia, Indonesia menghabiskan setidaknya US$8,6 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada tahun 2019, meningkat sebesar 27% sejak tahun 2017. Subsidi ini mengaburkan biaya sebenarnya dari sumber energi bahan bakar fosil.

b. Sekretariat JETP harus mendapatkan akses dan mengungkapkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJLB) batubara dengan Produsen Listrik Independen (IPP) sehingga implikasi hukum dan finansial dari penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara tersebut dapat dipahami. Kesenjangan informasi ini terlihat jelas dalam rancangan CIPP itu sendiri, yang menyatakan: “Penting juga untuk dicatat bahwa kompensasi take-or-pay untuk IPP merupakan perkiraan top-down dari PLN dan Kementerian ESDM sebagai titik data yang informatif, dan perkiraan aktual detail kontrak mungkin berbeda.” JETP memerlukan informasi ini untuk melakukan tugasnya; data tersebut tidak boleh bergantung pada perkiraan ketika angka sebenarnya tersedia. Pengungkapan seluruh PPA tidak boleh ditahan karena alasan sensitivitas informasi keuangan atau bisnis.

    • Sebagai salah satu negara yang telah berkomitmen untuk menerapkan Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI), Indonesia seharusnya telah setuju “untuk mengungkapkan kepada publik teks lengkap dari setiap kontrak, izin, konsesi atau perjanjian lain yang mengatur eksploitasi sumber daya minyak, gas dan mineral.” Namun, dalam praktiknya, informasi ini sering kali dirahasiakan, dan masyarakat sipil mengalami kesulitan memperolehnya bahkan melalui proses permohonan informasi publik berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
    • PJBL juga harus diungkapkan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi yang sama, mengingat tujuan mendasar yang sama yaitu “memberdayakan masyarakat untuk menilai apakah mereka mendapatkan manfaat yang baik dari sumber daya yang mereka miliki.” Di Peru, misalnya, masyarakat mempunyai akses terhadap PJBL yang belum disunting dan adendum terkait yang ditandatangani antara perusahaan dan distributor pembangkit listrik, serta pengguna yang tidak diatur, melalui situs web pemerintah.

 

PERMASALAHAN SUBSTANTIF

Bagian ini memberikan tinjauan singkat mengenai permasalahan dan pertanyaan utama dalam rancangan CIPP, dengan mengingat bahwa saat ini kami tidak memiliki cukup waktu atau informasi untuk membahas permasalahan ini secara mendetail.

Ambisi iklim JETP

  1. Kami menghargai bahwa rancangan CIPP mengambil beberapa langkah yang diperlukan menuju transisi energi yang adil, khususnya dalam fokusnya pada perluasan dan modernisasi transmisi untuk memungkinkan penerapan energi terbarukan, termasuk identifikasi kriteria nominasi untuk memilih proyek transmisi yang akan diprioritaskan dan daftar prioritas awal proyek investasi di Sulawesi, Jawa, dan Sumatera.
  2. Namun, CIPP tidak sesuai dengan ambisi yang tertuang dalam Pernyataan Bersama JETP. Hal ini masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk transisi yang adil di Indonesia, bahkan jika dilakukan oleh mitra JETP sendiri. Misalnya:
    • Pernyataan Bersama menyatakan bahwa emisi sektor ketenagalistrikan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 “pada nilai absolut tidak lebih dari 290 Mt CO2 (turun dari nilai dasar pada tahun 2030 sebesar 357 MT CO2) dan segera menurun setelahnya sesuai dengan target yang ambisius dan mencapai emisi nol bersih di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050, termasuk dengan percepatan penghentian penggunaan batubara tanaman, tergantung pada dukungan internasional.”  Namun, tonggak capaian ini tidak mungkin terjadi mengingat CIPP tidak menawarkan solusi memadai untuk mengelola besarnya emisi terkunci dari PLTU batu bara yang terhubung di jaringan.
    • Kami juga menilai CIPP secara eksplisit mengenyampingkan emisi dari PLTU captive di luar jaringan. Sekalipun rancangan CIPP merencanakan studi dan peta jalan khusus untuk PLTU captive dalam jangka waktu enam bulan setelah publikasi CIPP, rancangan CIPP tidak memberikan margin yang cukup untuk memastikan pembatasan emisi total (on-grid dan off-grid) setidaknya pada tingkat yang dapat diperkirakan mendekati ambisi awal JETP. Margin ambisi yang tersisa untuk PLTU captive hanya sebesar 40 Mt, sementara pembangkit listrik tenaga batubara di luar jaringan sendiri mencakup lebih dari dua pertiga dari 18,8 GW pembangkit listrik tenaga batubara baru yang diusulkan.
    • Total emisi dari pembangkit listrik tenaga batubara yang sedang dibangun, ditambah kapasitas batubara captive yang ada sebesar 10 GW, dapat mencapai hampir 50 Mt CO2 pada tahun 2030, yaitu sekitar 17% dari target 290 Mt. Trayek emisi on-grid dan off-grid pada tingkat ini tidak realistis untuk mencapai ambisi awal JETP, terlebih dengan mempertimbangkan minimnya investasi pemensiunan PLTU on-grid pada CIPP dan ketidakpastian lebih besar lagi pada peta jalan
    • Pernyataan Bersama juga menyatakan bahwa akan ada “rencana untuk mempercepat pensiun dini atau menghindari pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baik sebelum dan sesudah tahun 2030, baik di dalam maupun di luar jaringan listrik, dengan cara yang secara substansial mengurangi emisi sambil mempertahankan listrik yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia [penekanan ditambahkan].” Rancangan CIPP tidak memberikan rencana investasi maupun usulan kebijakan apa pun untuk pensiun dini atau menghindari pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di luar jaringan listrik; dan tidak ada rencana penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara sebelum tahun 2030. Rancangan CIPP hanya mengalokasikan pembiayaan untuk dua pembangkit listrik tenaga batubara (dengan total kapasitas 1,6 GW) yang akan dihentikan pada tahun 2037. Berdasarkan usulan tersebut, pembangkit-pembangkit tersebut, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1, akan dipensiunkan hanya 5-7 tahun sebelum pensiun alaminya.

3. Keragu-raguan para penyandang dana JETP untuk mendanai penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara merupakan perubahan besar dari niat mereka untuk menghentikan penggunaan batubara ketika JETP pertama kali diumumkan pada akhir tahun 2022; perkembangan terkini merupakan “kemunduran besar” bagi rencana Indonesia untuk beralih dari batubara.

Pembangkit listrik baru dan kelebihan pasokan

  1. Rancangan CIPP mengusulkan penambahan pembangkit listrik baru dalam jumlah besar (sebagian besar merupakan energi dispatchable, termasuk bioenergi, panas bumi dan tenaga air) tanpa adanya rencana yang jelas untuk penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara. Kelebihan pasokan kapasitas dan dominasi PLTU batu bara masih menjadi hambatan penting bagi kesiapan sistem ketenagalistrikan untuk menerima penetrasi energi terbarukan variabel yang tinggi, terlebih lagi mengingat kewajiban uptake minimum yang tinggi bagi PLTU batubara.
  2. Kami mempunyai pertanyaan mengenai bagaimana JETP dapat menghindari terulangnya isu kelebihan pembangunan dan kelebihan pasokan pembangkit listrik tenaga batubara di masa depan, yang akan terus membuat Indonesia menjadi pasar investasi yang kurang menguntungkan bagi energi terbarukan.
  3. Di sisi yang lain, penerapan klausul “take or pay” yang sering digunakan dalam kontrak pembangkit listrik swasta jelas akan membebani perusahaan listrik negara (PLN) dan juga fiskal pada akhirnya yang ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar tertulis yang ada di dalam dokumen CIPP.
  4. Secara khusus, kami mendesak transparansi mengenai asumsi mengenai pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam model permintaan listrik saat ini, penjelasan mengapa model dalam rancangan CIPP lebih realistis dalam proyeksi pembangunan dan permintaan, dan mengapa rancangan pemodelan CIPP mengasumsikan penghentian penggunaan batubara tanpa adanya rencana pensiun yang jelas, sebagaimana diuraikan di bawah.

 

Pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara on-grid

  1. Membatalkan pembangkit listrik yang sudah direncanakan, diizinkan, atau pra-izin adalah salah satu pendekatan yang paling hemat biaya dan berdampak besar dalam mempercepat transisi energi yang berkeadilan di Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan oleh IESR menemukan bahwa sembilan pembangkit listrik tenaga batu bara on-grid di Indonesia dapat dibatalkan dengan dampak minimal terhadap stabilitas dan keterjangkauan pasokan atau jaringan listrik, sehingga menghindari sekitar 295 Mt CO2, dengan perkiraan biaya sebesar 80 sen per ton CO2 yang dihemat.
  2. Rancangan CIPP menetapkan bahwa memungkinkan penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara adalah salah satu bidang fokus investasi JETP dan kebijakan yang mendukung transisi energi di Indonesia. Namun, CIPP tidak memuat rencana investasi dan kebijakan yang efektif untuk pensiun dini.
    • Sehubungan dengan pembangkit listrik tenaga batubara on-grid yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN, hanya dua pembangkit listrik tenaga batubara yang diusulkan untuk pensiun dini, seperti disebutkan di atas, dengan dampak minimal terhadap lintasan iklim Indonesia dan ketergantungan jalur pada pembangkit listrik tenaga batubara. Tidak dijelaskan mengapa rancangan CIPP hanya mencantumkan rencana pensiun dini untuk kedua pembangkit listrik tersebut, dan tidak semua unit pembangkit listrik tenaga batubara yang umur operasinya akan melebihi 30 tahun pada tahun 2035, sejalan dengan asumsi umur maksimum 30 tahun.
    • Sehubungan dengan pembangkit listrik on-grid yang dimiliki oleh IPP, seperti disebutkan di atas, tidak ada transparansi mengenai ketentuan PPA, yang perlu dipahami untuk menilai implikasi hukum dan keuangan dari pensiun dini. Rancangan CIPP juga gagal memberikan rencana yang jelas untuk renegosiasi PPA guna memungkinkan pensiun dini.

10. Rancangan CIPP mengakui perlunya investasi untuk memungkinkan pensiun dini pada tingkat yang tinggi: “Risiko hukum dan keuangan dari penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara, dalam hal pelanggaran kontrak, penilaian aset, dan transisi ke energi terbarukan, [membutuhkan] modal tambahan investasi.” Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa, “Pensiun dini dan penggantian merupakan hal yang lebih padat modal, sehingga memerlukan investasi dalam memberikan kompensasi kepada pemilik pembangkit listrik tenaga batubara (baik PLN atau IPP), decommisioning, aktivitas dan dukungan transisi yang adil, dan pembangunan pengganti energi baru yang ramah lingkungan.” Namun, rencana tersebut gagal merinci kebutuhan investasi untuk mencapai penghentian penggunaan batubara secara bertahap, dan tidak ada perkiraan total atau rincian biaya pelaksanaan penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara.

    • Rancangan CIPP menetapkan US$1,3 miliar untuk Area Fokus Investasi yang disebut “Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Awal (CFPP) Pensiun dan Penghentian Terkelola.” Namun, jumlah ini tidak termasuk investasi pada pensiun dini sebelum tahun 2030; hal ini secara jelas hanya mencakup “retrofit fleksibilitas batubara.”
    • Secara terpisah, rancangan CIPP mengindikasikan bahwa, sehubungan dengan PLTU Cirebon, “pendanaan yang dibutuhkan diperkirakan mencapai sekitar US$250 juta – US$300 juta” dan menunjukkan pinjaman dan dana hibah yang tersedia untuk penghentian dini pembangkit listrik tersebut; namun, dasar estimasi ini tidak dijelaskan secara memadai.
  1. Untuk memastikan bahwa rencana CIPP untuk penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara telah diinformasikan dengan baik dan prosesnya transparan, pemerintah Indonesia dan IPG harus menentukan perkiraan biaya yang terkait dengan penghentian dini seluruh unit pembangkit listrik tenaga batubara yang masa operasinya akan melebihi 30 tahun pada tahun 2035. Hal ini termasuk menentukan kerugian dalam penilaian aset pembangkit listrik tenaga batubara PLN dan memperkirakan biaya negosiasi ulang.
    • Kami mengakui kekhawatiran PLN mengenai penilaian aset dan konsekuensi keuangan yang merugikan bagi perusahaan utilitas akibat penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara milik PLN. Namun, PLN harus transparan mengenai cara menghitung besarnya konsekuensi tersebut, termasuk mengungkapkan metodologi penghitungan nilai buku aset-asetnya yang dipermasalahkan, seperti perkiraan nilai $400 juta yang dialokasikan untuk 1 GW kapasitas PLTU batu bara untuk pembangkit berumur 30 tahun, mengingat “klausul perubahan dan penghentian tidak berlaku” untuk pembangkit listrik milik PLN.
  1. CIPP juga harus menentukan biaya negosiasi ulang atau pengakhiran kontrak PPA dengan IPP untuk memungkinkan pensiun dini (termasuk biaya perselisihan arbitrase investasi, jika ada). Struktur PPA secara umum berarti bahwa PPA mengunci aset-aset yang menimbulkan polusi dan “mencegah pemangku kepentingan mewujudkan penghematan biaya, peluang kerja, peluang pendapatan, dan penurunan emisi yang mungkin terjadi dari energi ramah lingkungan.” Namun, ketentuan kontrak yang fleksibel dalam PPA batubara tidak boleh menghalangi transisi energi; CIPP perlu memiliki rencana dan menyisihkan investasi yang cukup untuk mengatasinya dan memungkinkan pensiun dini.
    • Rancangan CIPP mengakui adanya kebutuhan untuk transisi perjanjian-perjanjian ini: “IPP telah mengikat investasi mereka ke dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) jangka panjang dengan PLN berdasarkan ketentuan kontrak – termasuk jangka waktu kontrak yang panjang (hingga 30 tahun), pengambilan keputusan yang tidak fleksibel. jumlah atau-bayar, dan transfer biaya bahan bakar – yang perlu direstrukturisasi agar transisinya berhasil.” Namun, hal ini tidak memberikan rencana yang dapat ditindaklanjuti, apalagi menyisihkan investasi untuk memungkinkan pensiun dini.
    • Rancangan CIPP hanya mengusulkan solusi sehubungan dengan penggunaan kembali pembangkit listrik tenaga batu bara, bukan pensiun dini: “Untuk menyesuaikan PPA berbahan bakar batu bara dengan fleksibilitas operasional yang diperlukan selama penghentian bertahap yang dikelola, PLN dapat menegosiasikan ulang persyaratan minimum pengambilan (dengan menurunkan take-or-pay) atau meningkatkan fleksibilitasnya (dengan memberikan kompensasi atas ketersediaan atau kapasitas layanan) dengan IPP.” Opsi-opsi ini harus dieksplorasi lebih lanjut dan dihitung biayanya sehubungan dengan pensiun dini juga.
    • Sekretariat JETP dan para mitra harus memimpin dalam menyelidiki opsi-opsi untuk transisi PPA batubara dan menentukan kebutuhan investasi. Berdasarkan data yang tersedia, TransitionZero memperkirakan dibutuhkan biaya sebesar US$37 miliar untuk memensiunkan seluruh armada pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada di Indonesia. Tidak jelas apakah hal ini memperhitungkan potensi biaya arbitrase; PPA biasanya memberikan perlindungan khusus bagi investor asing, termasuk hak untuk mengajukan klaim pelanggaran kontrak ke pengadilan arbitrase internasional, menuntut pemerintah untuk memberikan kompensasi atas hilangnya keuntungan. Ketika kasus arbitrase diputuskan untuk memenangkan investor bahan bakar fosil, rata-rata penghargaan yang diberikan lebih dari US$600 juta untuk setiap kasus.
    • CIPP harus mempertimbangkan apakah investasi untuk menutupi kerugian IPP dapat dicapai dengan dukungan struktur pembiayaan serupa yang diterapkan pada PLTU Cirebon, misalnya dalam hal ini, Bank Pembangunan Asia menawarkan pinjaman non-konsesional berbunga rendah untuk mengkompensasi Cirebon Electric atas hilangnya keuntungan akibat pensiun dini.

Penghapusan bahan bakar fosil yang terkelola

  1. Yang terakhir, rancangan CIPP yang mengusulkan “penghapusan bertahap” bahan bakar fosil tampaknya bergantung pada solusi yang salah. Meskipun kami memerlukan lebih banyak waktu dan informasi untuk menyelesaikan analisis kami, kami mencatat beberapa tanda bahaya berikut:

a. Rancangan CIPP mengajukan skenario JETP yang mana, hingga tahun 2030, akan terdapat pembakaran  dengan campuran biomassa (co-firing) di pembangkit listrik tenaga batu bara dan, mulai tahun 2040, sisa pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas “dilengkapi untuk sepenuhnya beroperasi dengan bioenergi atau amonia, untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, dan hidrogen untuk tenaga gas.” Langkah-langkah ini tidak akan memungkinkan Indonesia memenuhi komitmen iklimnya, dan pada saat yang sama akan memperburuk dampak lingkungan dan sosial. Misalnya:

    • Amonia yang dihasilkan dari batubara yang tidak dikurangi akan melipatgandakan emisi dari pembakaran langsung batubara. Selain itu, peralihan ke co-firing amonia 20% akan memakan biaya lebih besar dibandingkan mengganti batu bara dengan energi terbarukan, namun hanya menghasilkan sedikit penghematan emisi. Meskipun ada solusi yang sedang diuji untuk meningkatkan laju co-firing hingga 50%, upaya melampaui batas tersebut saat ini hanya mungkin dilakukan secara teori dan belum layak secara komersial, sehingga tidak realistis untuk mengandalkan retrofit pembangkit listrik tenaga batu bara agar dapat “beroperasi sepenuhnya” dengan menggunakan amonia. Hilangnya kandungan energi yang signifikan selama proses produksi amonia dari hidrogen dan pada tahap pembakaran juga menyebabkan pembangkit listrik yang mengandalkan co-firing menjadi kurang efisien.
    • Hidrogen membutuhkan banyak energi, dan emisi seluruh siklus hidupnya bisa lebih besar dibandingkan sumber bahan bakar fosil. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa emisi gas rumah kaca dari produksi listrik yang menggunakan bahan bakar fosil hidrogen lebih besar dibandingkan dengan menghasilkan listrik yang sama dengan membakar gas metana (“alam”), minyak diesel, dan batu bara secara langsung. Bahkan hidrogen “hijau”, meskipun lebih disukai daripada hidrogen berbahan bakar fosil, bukanlah jawaban untuk mengurangi emisi di sebagian besar sektor. Hidrogen “hijau” kemungkinan besar merupakan solusi palsu dimana sumber energi matahari atau angin dapat memasok listrik secara langsung. Mengubah hidrogen menjadi energi yang berguna memerlukan “listrik dua hingga tiga kali lebih banyak… dibandingkan listrik langsung, karena kerugian konversi.” Oleh karena itu, hidrogen “ramah lingkungan” hanya boleh digunakan untuk mengurangi emisi “ketika tidak ada alternatif lain yang praktis” dan di “sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi seperti sektor penerbangan, perkapalan dan industri berat, di mana elektrifikasi langsung hampir tidak mungkin dilakukan.”
    • Biofuel juga mempunyai permasalahan tersendiri. Produksi biomassa melemahkan ketahanan pangan dengan mengambil alih lahan yang dibutuhkan untuk produksi pangan pokok dan menghancurkan penyerap karbon, seperti hutan, dalam prosesnya. Hal ini juga penuh dengan konflik penggunaan lahan, terutama di masyarakat pedesaan yang bergantung pada lahan untuk penghidupan mereka.

b. Percepatan energi terbarukan melalui bioenergi, tenaga air, dan panas bumi diperkirakan membutuhkan US$49,2 miliar (lebih dari 51% dari total investasi yang dibutuhkan pada tahun 2030). Rancangan CIPP tidak menjelaskan mengapa pembangkit dispatchable ini diprioritaskan dibandingkan dengan investasi perbaikan jaringan listrik yang ada dan pengembangan rencana yang dapat ditindaklanjuti untuk penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara. Selain itu, kita perlu memahami bagaimana rencana percepatan energi terbarukan ini dapat diterapkan secara adil, mengingat risiko deforestasi, pengungsian, dampak terhadap spesies terancam yang dilindungi, serta dampak lingkungan dan sosial lainnya.