CATAHU 2024: Ketidakseriusan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Atasi Persoalan Sampah

Sepekan berjalan kebakaran TPA Sarimukti tak kunjung padam semenjak terjadinya pada 19 Agustus 2023 yang tentunya berimbas tidak terangkutnya sampah dari warga ke TPA. Sejak saat itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menetapkan “Bandung Raya Darurat Sampah” ditandai dengan terbitnya Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 658/Kep.579-DLH/2023 tentang Penetapan Status Darurat Sampah Bandung Raya, yang ditetapkan pada 24 Agustus 2023. 

Gubernur memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat untuk mengkoordinasikan pemangku kepentingan dalam menangani sampah pada masa status darurat sebagai dampak ditutupnya Tempat Pembuangan Kompos (TPK) Sarimukti. Lewat surat keputusan itu yang kemudian dijabarkan dalam Instruksi Gubernur Jawa Barat Nomor: 02/PBLS.04/DLH Tentang Penanganan Sampah Pada Masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah Bandung Raya. Gubernur meminta empat kabupaten/kota yang ada di wilayah Bandung Raya yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi diharuskan untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri, antara lain dengan:

  • melakukan langkah darurat untuk memastikan pengelolaan sampah organik di sumber;
  • tidak melakukan pengangkutan sampah baru ke TPK Sarimukti;
  • menghentikan pengumpulan sampah untuk sementara, terkecuali sampah yang dapat didaur ulang; dan
  • optimalisasi pengolahan sampah organik di luar sarana resmi pemerintah. 

Respon Pemerintah Daerah Tatkala Kebijakan Diberlakukan

Kondisi darurat sampah membuat daerah-daerah yang sangat ketergantungan pada keberadaan TPA Sarimukti dipaksa berpikir keras agar dapat menangani kondisi yang ada, tak terkecuali Pemerintah Kota Bandung yang produksi timbulan sampah nya, terutama timbulan Food Waste terbanyak dari daerah-daerah lainnya di Bandung Raya. 

Berbagai upaya pun dilakukan Pemerintah Kota Bandung pada masa “Darurat Sampah”, salah satunya dengan melakukan aksi pemberian sarana dan prasarana pengolahan sampah organik antara lain Loseda (Lodong Sesa Dapur) sebanyak 770.000 unit (untuk setiap rumah tinggal) yang bersumber dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat dan pusat atau CSR. 

Berikut merupakan beberapa kegiatan sebagai reaksi Pemerintah Kota Bandung dalam merespon kondisi darurat sampah:

  1. Pemanfaatan lahan seluas 1 Ha di Gedebage untuk pembuangan sampah anorganik residu dan pengolahan organik dengan kapasitas 20.000 m3 setara dengan 7.000 ton sampah;
  2. Penguatan Satuan Tugas Pengelolaan Sampah Mandiri yang telah terbentuk di 30 Kecamatan dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas Tingkat Kelurahan; Aktivasi Kawasan Bebas Sampah (KBS) yang telah terbentuk, dengan minimal 2 RW KBS di tiap Kelurahan;
  3. Penerapan dan penegakan hukum pengaturan/jadwal pembuangan sampah terpilah ke TPS dengan pengawasan oleh aparat kewilayahan;
  4. Penanganan sampah pasar dengan penempatan mesin gibrik di Pasar Gedebage sebanyak 1 unit yang hanya berjalan sebentar. Selanjutnya mesin ini tak berjalan sampai sekarang;
  5. Optimalisasi Lubang Olah Organik yang telah dibuat di seluruh kecamatan dan kelurahan dengan memanfaatkan 2.125 lubang biopori yang apabila praktek ini berhasil, Kota Bandung bisa mengurangi volume sampah organik terolah sebesar 2.316 m3 dan 652 ton;
  6. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan relawan dan kader PKK untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di sumber hanya  berjalan di beberapa kelurahan;
  7. Penerbitan Instruksi Wali Kota Bandung tentang Pengelolaan Sampah Mandiri dan Berkelanjutan, dan kemudian menetapkan ketaatan warga dalam memilah dan mengolah sampah;
  8. Penambahan sarana dan prasarana melalui Bantuan Keuangan (Belanja Tidak Terduga) Provinsi Jawa Barat dan Pusat antara lain untuk pembelian Loader sebanyak 3 unit, Eskavator sebanyak 2 unit, Forklift 1 unit, Mesin Gibrik lengkap 3 set dan sarana prasarana lainnya.

Temuan Implementasi Kebijakan Pelarangan Sampah Organik Dibuang Ke TPAS Sarimukti

Menanggapi hal ini Walhi Jawa Barat mencoba merespon atas disepakati kebijakan “Pelarangan Sampah Organik dibuang ke TPAS Sarimukti yang termaktub dalam Instruksi Gubernur Jawa Barat Nomor: 02/PBLS.04/DLH Tentang Penanganan Sampah Pada Masa Darurat dan Pasca Masa Darurat Sampah Bandung Raya dengan melakukan monitoring dan survey ke TPAS Sarimukti pada 15 Juni 2024, serta observasi dan wawancara dengan pelaku usaha Kafe Restoran, survey ke Pasar Gedebage dan observasi dan wawancara dengan pengelola sampah Kelurahan / komunitas.

Hasil pengamatan kami di TPA Sarimukti serta data yang diperoleh dari petugas operasional harian TPA (Ikrar), bahwa sampah organic masih dibuang ke Sarimukti. TPA ini masih menampung buangan sampah sebanyak 300-320 ritase perhari atau 2.500 ton perhari yang didominasi sampah organic sebanyak 80 persen. Dari keseluruhan jumlah tersebut, Kota Bandung menyumbang sampah paling banyak, yaitu sekitar 170 ritase perhari yang apabila dikonversi ke berat (tonase) ±1.500 ton perhari. Kapasitas kendaraan truk yang digunakan adalah: 6, 10, 12, 16 dan 25 meter kubik.

Dari kondisi ini Walhi menilai, bahwa telah terjadi pembangkangan, ketidak-disiplinan dan ketidakpatuhan Pemerintah Kota/Kabupaten di Bandung Raya atas kebijakan yang telah disepakati mereka sendiri untuk bisa menangani sampahnya sehingga tidak dibuang ke TPA.

Hasil pengamatan ini kami coba sampaikan kepada PJ Gubernur atau Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang didalamnya menjelaskan terkait kewenangan Pemerintah Provinsi, yaitu Fasilitasi kerjasama antar daerah, menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota. Dan fasilitasi penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antar kota. Lebih jauh lagi kewenangan Provinsi dalam undang-undang pengelolaan sampah adalah Pengembangan Sistem dan Pengelolaan Persampahan Regional serta Penanganan Sampah di TPA/TPST Regional. 

Adapun tujuan dilaksanakannya audiensi adalah untuk menyampaikan hasil monitoring Walhi di TPA Sarimukti dengan harapan mendapatkan penjelasan terkait kendala yang dihadapi Pemerintah Provinsi atas ketidakpatuhan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Bandung Raya dalam mengimplementasikan kebijakan dan kesepakatan pelarangan membuang sampah organic ke Sarimukti. Selain itu, tujuan audiensi ini adalah untuk mendorong dan memberi dukungan kepada pihak provinsi untuk lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuat sebagai komitmen untuk mengatasi sampah di Bandung Raya.

Namun sayang, selain waktu yang disediakan pihak protokol sangat sempit, artinya Walhi hanya diberikan waktu selama 40 menit serta pihak provinsi tidak menangkap apa yang dipaparkan dan disampaikan walhi, sehingga pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa.

Termasuk pihak DPRD komisi 4 yang kami minta untuk berdialog (audiensi) sampai dua kali walhi mengirimkan surat permohonan audiensi pun tidak ada tanggapan serius dan tidak punya waktu untuk membahas permasalahan sampah di kawasan Bandung Raya.

Begitupun dengan pemerintah Kabupaten/Kota Bandung sebagai salah satu pihak yang harus bertanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, bahwa kewajiban Pemerintah Kota dalam Penanganan Sampah, antara lain: Menetapkan kebijakan & strategi sesuai Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK); Menyelenggarakan pengelolaan sampah sesuai NSPK; Pembinaan dan pengawasan kinerja pihak lain; Menetapkan lokasi TPS, TPST dan TPA; Pemantauan dan Menyelenggarakan sistem tanggap darurat PS.

Adapun reaksi atau respon Pemerintah Kota Bandung dalam menangani dan mengendalikan kondisi darurat sampah yang terjadi dengan melakukan berbagai kegiatan sebagaimana dipaparkan di atas, tidak satupun yang berhasil mengendalikan sampahnya secara maksimal dan sesuai harapan. 

Termasuk kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan relawan dan kader PKK untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di sumber hanya  berjalan di beberapa kelurahan saja. Selebihnya, program ini tidak berjalan dan hanya berjalan sebentar saja serta Penanganan sampah pasar dengan penempatan mesin gibrik di Pasar Gedebage sebanyak 1 unit, ini pun hanya berjalan sebentar. 

Salah satu yang berhasil dilakukan adalah mendorong dan meminta DLH Provinsi untuk normalisasi operasional TPA Sarimukti, meliputi: pembukaan zona yang aman pasca kebakaran sebanyak 2 Zona (zona 1 dan 4), menambah jam operasional menjadi 05.00 – 18.00 WIB serta menambah kapasitas truk sejenis tronton yang bisa masuk ke area TPA Sarimukti.

Untuk lebih menyelaraskan hasil monitoring dari TPA Sarimukti, Walhi Jawa Barat juga mencoba menggali informasi dari berbagai pihak, diantaranya dengan Aliansi Kafe dan Restoran (AKAR), berkunjung dan berdialog dengan pengelola sampah di Pasar Gedebage serta berkunjung ke berbagai komunitas pengelola sampah di Kabupaten/Kota.

Dialog Walhi dengan AKAR (Asosiasi Kafe & Restoran) Jawa Barat yang diketuai Arif Maulana, bahwa mereka sempat mengetahui adanya Ingub pelarangan sampah organik dibuang ke TPA dari beberapa kali kegiatan sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota dan itupun hanya berupa himbauan. Untuk implementasi berupa pendampingan, konsep serta alur pengelolaan bagaimana hampir tidak pernah dilakukan oleh Pemkot ataupun DLH Kota Bandung.

AKAR merupakan salah satu penyumbang PAD terbesar di Kota Bandung (-/+) 30% dari total PAD Kota Bandung. Karena core bisnis di bidang pariwisata, maka mereka konsen dan mendukung kebijakan pelarang sampah organik ke TPA karena persoalan sampah ini sangat mempengaruhi usahanya.

Sebagai informasi, bahwa tarif retribusi persampahan yang dibebankan pada Kafe & Restoran ini sebesar Rp. 600.000,- per bulan dan belum biaya yang harus mereka keluarkan sebagai upah pengangkutan yang dilakukan oleh petugas penarikan ke TPS terdekat yang rata-rata mereka harus keluarkan per bulannya sebesar Rp. 300.000,-

“Meskipun berat bagi kami untuk mengelola sampah secara mandiri, jika itu menjadi kebijakan pemerintah kami akan patuhi. Hanya saja, retribusi sampah yang dibebankan kepada kami selama ini harus dibebaskan atau ditiadakan untuk kami pergunakan sebagai biaya dalam proses pengelolaan” Ujar, Arif.

Pengamatan lapangan Walhi di Pasar Induk Gede Bage, dimana pasar induk ini memiliki potensi lahan yang bisa digunakan sebagai lokasi pengelolaan sampah tapi tidak dimanfaatkan baik oleh pengelola maupun oleh pemerintah dalam hal ini PD. Pasar. Selain itu, pasar ini juga memiliki Paguyuban Warga Pasar Induk Gedebage (PWPIG) yang bisa dirangkul untuk bisa membantu mengatasi atau melakukan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kegiatan berjualan mereka pun tidak dilibatkan secara maksimal.

Secara struktur Pasar Induk Gede Bage berada di bawah naungan PD. Pasar Kota Bandung, namun faktanya terdapat 2 (dua) pihak, yaitu: PD. Pasar dan PT. Ginanjar. Dalam pengelolaan sampah beban tanggung jawab secara umum berupa penanganan dan pengurangan sampah jelas berada dibawah DLH Kota Bandung dengan khususnya PD. Pasar.

Beberapa tahun terakhir terjadi beberapa kali perubahan dalam manajemen atau pengaturan pengelolaan sampah karena buruknya manajemen persampahan serta administrasi terkait dengan retribusi dalam bentuk iuran para pedagang pasar. Singkatnya DLH Kota Bandung tidak lagi mengurus pengelolaan sampah Pasar Induk Gede Bage secara langsung. Pengelolaan diserahkan secara penuh kepada PD. Pasar Kota Bandung. Tidak berselang lama PD. Pasar Kota Bandung pun merasa keberatan mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage karena alasan yang tidak jauh berbeda dengan DLH Kota Bandung. Selanjutnya, pengelolaan sampah diserahkan sepenuhnya kepada PT. Ginanjar, kemudian PT. Ginanjar memandatkannya kepada PWPIG untuk mengelola sampah Pasar Induk Gede Bage.

Perlu diketahui jenis sampah Pasar Induk Gede Bage 85% adalah sampah organik didominasi oleh sayur-mayur dan buah-buahan, dengan ritase pengangkutan hingga 3 rit per hari, sekitar 40m3. PWPIG sempat melakukan pengolahan sampah organiknya dengan melakukan pencacahan tanpa perlakuan lain. Bahkan banyak perusahaan pengelolaan sampah yang sempat berdatangan untuk bekerja sama namun tidak satupun berjalan.

Dualisme pengelolaan (kelembagaan) pasar menambah kesemrawutan dalam pengelolaan sampah itu sendiri. Informasi ini kami peroleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang anggota Paguyuban perwakilan pedagang pasar. Ketidak-sinergian lintas instansi dinas (DLH) dengan BUMD adalah pemicunya. Dimana, kedua institusi ini tidak saling bantu bahu membahu mengatasi persoalan sampah di pasar ini. 

Alih-alih menyelesaikan persoalan serta membenahi kondisi buruk yang ada, malah menyerahkan persoalan ini kepada pihak lain, tanpa arahan dan monitoring yang jelas. Sampah organik yang seharusnya diolah di sumber dengan mudah saja dibuang ke TPA Sarimukti yang jelas-jelas dilarang oleh Instruksi Gubernur.

Lain halnya TPS3R Kelurahan Rancabolang Kecamatan Gedebage Kota Bandung yang penanggung jawab pengelolaannya langsung di bawah kelurahan. Sejak adanya kebijakan pelarangan sampah organic dibuang ke TPAS Sarimukti kelompok belum pernah menerima informasi atau ada kegiatan sosialisasi secara langsung, baik yang dilakukan DLH maupun pihak lain kepada kelompok. Kalaupun ada, pihak kelompok akan merasa terbantu karena disaat yang sama kelompok kekurangan suplai SOD. Sementara, kekurangan Sampah Organik Dapur (SOD) ini bukannya dibantu oleh pemerintah atau DLH melainkan dibantu oleh komunitas lain.

Kelompok pernah melakukan kegiatan sosialisasi pemilahan kepada warga, namun pada tahap implementasi mereka masih banyak yang bandel untuk bisa terbiasa memilah sampahnya. Kalau pun warga diharuskan memilah sampahnya, ini masih sulit dilakukan karena ketiadaan aturan sebagai landasan hukum bagi warga atau instrumen penegakan hukum bagi kelompok. 

Di satu sisi, kalau pun pihak kelurahan mengeluarkan peraturan dibutuhkan instrumen yang jelas dari pimpinan diatasnya (camat). Pernah dilakukan untuk menghimbau warga agar melakukan pemilahan SOD sebagai syarat pengurusan dokumen-dokumen pelayanan di kelurahan, namun tidak ditanggapi serius oleh Camat. 

Sempat ada proses pemilahan di sumber tatkala turunnya surat edaran Sekda Provinsi yang menetapkan Zero Food Waste serta Surat Edaran Penjabat Walikota “Tidak Dipilah Tidak Diangkut”. Hasilnya, warga mulai melakukan aksi pemilahan di 8 Rukun Warga, dari 12 RW yang terdapat di Kelurahan Rancabolang. Tapi mereka masih dihadapkan pada sarana pendukung yang memadai untuk mengolah sampahnya.  Salah satunya 1 (satu) RW yang berada di lingkungan Perumahan Sumarecon yang dikelola secara mandiri per 14 Oktober 2024.

Satu hal yang menjadi keberatan mereka tatkala sudah melakukan pemilahan dan pengelolaan tapi retribusi masih ditarik. Maka dari itu, mereka mengusulkan agar dihitung ulang besaran retribusi secara proporsional dan adil pada kelompok, warga maupun komunitas yang sudah melakukan praktek pengurangan sampah.

Anggaran Belanja belum Berpihak dalam Penanganan dan Pengurangan Sampah

Analisis dokumen anggaran penanganan sampah adalah salah cara guna melihat sejauh mana perhatian pemerintah terhadap persoalan sampah yang ada, dimana salah satu yang menjadi alasan kenapa persoalan sampah tidak menemukan jalan keluarnya adalah salah satunya minimnya anggaran yang dialokasikan.

Rencana awal, dokumen anggaran yang akan dianalisis adalah dokumen detail terkait realisasi anggaran, seperti dokumen Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA), sebab kedua dokumen tersebut memuat rincian detail program dan kegiatan penanganan dan pengelolaan sampah berikut besaran anggaran yang dialokasikan. Namun, sayang kedua dokumen tersebut susah kita akses baik di website maupun meminta langsung dengan cara menyurati kedua daerah (DLH) tersebut untuk bisa analisis.  

Sementara dokumen anggaran yang berhasil dianalisis ini adalah berupa kebijakan anggaran dari masing-masing daerah, seperti Perda APBD Kota Bandung tahun 2020 dan Perda APBD Kabupaten Bandung tahun 2020. Berikut adalah hasil pembacaan dari kedua dokumen kebijakan tersebut

Kota Bandung

Anggaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung pada tahun 2022 sebesar Rp. 351,06 Milyar atau sebesar 4,56% dari total belanja daerah, pada tahun 2023 secara nominal turun menjadi Rp. 346,06 Milyar namun dari sisi proporsi naik menjadi 4,80%. Pada tahun 2024 naik menjadi Rp. 351,06 Miliar atau sebesar 5,23% dari total belanja daerah.

Anggaran DLH Kota Bandung paling besar digunakan untuk pengangkutan sampah ke TPA. Pada tahun 2022 anggaran untuk pengangkutan sampah sebesar Rp. 107.309.690.450 atau sebesar 30,57% dari total belanja DLH dan tahun 2024 meningkat menjadi sebesar Rp. 234.227.990.221 atau 66,72% dari total belanja DLH. Sedangkan anggaran untuk kegiatan yang terindikasi bisa mengurangi sampah dari sumber hanya sebesar Rp. 5.989.745.453 atau sebesar 1,71% dari total belanja DLH, pada tahun 2022 dan turun menjadi Rp. 3.510.000.000 atau sebesar 1,00% dari total belanja DLH  pada tahun 2024.

2022 2023 2024
Kegiatan Indikasi Pengurangan Sampah (Rp) 5.989.745.453 3.000.000.000 3.510.000.000
Kegiatan yang mengindikasikan Angkut Buang (Rp) 107.309.690.450 177.183.168.732 234.227.990.221
Kegiatan Indikasi Pengurangan Sampah (%) 1,71% 0,87% 1,00%
Kegiatan yang mengindikasikan Angkut Buang (%) 30,57% 51,20% 66,72%

 

Kabupaten Bandung

Anggaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung pada tahun 2023 sebesar Rp. 105,78 Miliar atau sebesar 1,56% dari total belanja daerah. Pada tahun 2024 anggaran DLH menurun menjadi sebesar Rp. 100,06 Miliar atau sebesar 1,33%.

Anggaran DLH Kabupaten Bandung paling besar digunakan untuk pengangkutan sampah ke TPA. Pada tahun 2023 anggaran untuk pengangkutan sampah sebesar Rp. 27.025.909.670 atau sebesar 25,55% dari total belanja DLH. dan tahun 2024 meningkat menjadi sebesar Rp. 25.725.909.670 atau 25,71%. Sedangkan anggaran untuk kegiatan yang terindikasi bisa mengurangi sampah dari sumber sebesar Rp. 11.208.899.314 atau sebesar 10,60% dari total belanja DLH pada tahun 2022 dan turun menjadi Rp. 6.980.696.014 atau sebesar 6,98% pada tahun 2024.

2023 2024
Kegiatan Indikasi Pengurangan Sampah (Rp) 11.208.899.314 6.980.696.014
Kegiatan yang mengindikasikan Angkut Buang (Rp) 27.025.909.670 25.725.909.670
Kegiatan Indikasi Pengurangan Sampah (%) 10,60% 6,98%
Kegiatan yang mengindikasikan Angkut Buang (%) 25,55% 25,71%

Gambaran anggaran seperti dijelaskan diatas menunjukan indikasi, Instruksi Gubernur belum diterapkan secara optimal baik oleh Pemerintah Kabupaten Bandung maupun Kota Bandung khususnya alokasi Anggaran Darurat dalam penanganan persampahan.

Dari permasalahan ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menunjukkan keseriusan dalam implementasi Instruksi Gubernur tersebut. Mereka cenderung membiarkan sampah organik mengalir terus ke TPA Sarimukti tanpa tindakan dan pengawasan apapun. Seharusnya Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk mengawal dan mengevaluasi secara seksama. Bahkan, reward maupun punishment perlu diterapkan agar pelanggaran atau ketidak-patuhan para penanggung jawab pengelolaan sampah atas kebijakan atau kesepakatan yang telah disepakati bersama di tingkat Kabupaten Kota tidak terjadi di kemudian hari. 

Seperti hal Pemerintah Kota Bandung mempunyai berkewajiban untuk menekan dan melakukan pengawasan kepada para pengelola kawasan komersial guna melakukan pengurangan sampah organiknya, dengan menggunakan instrumen perizinan atau kewajiban pengelolaan sampah bagi pengelola kawasan komersial, sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Sampah khusus pada pasal 24, 27 dan 59.

Kawasan komersial yang notabene memiliki izin usaha dan memiliki lembaga pengelola bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri (tanpa harus membebani APBD), sesuai dengan PP 81 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang dapat dijadikan instrumen kontrol oleh pemerintah kota dalam hal mendorong pengurangan sampah organik. 

Sebagaimana data timbulan food waste DLH Provinsi Jawa barat tahun 2022, Cekungan Bandung atau Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar 2.327 ton perhari. Sementara daerah yang paling banyak memproduksi sampah adalah Kota Bandung mencapai 60 persen atau sekitar 1.389 ton perhari. Jumlah timbulan ini berasal dari Kawasan Komersial, seperti pasar, hotel, restoran, kafe, rumah sakit, mall, dll yang mencapai, 874 ton sisanya sekitar 515 ton berasal dari sampah dari rumah tangga.

Lebih penting untuk diketahui secara seksama, kalau situasi ini terus terjadi maka TPAS Sarimukti tidak mampu lagi menampung buangan sampah (overload) sebelum masa habis kontrak pemakaiannya pada tahun 2025 dan konon ada permintaan perpanjangan kontrak penggunaan Sarimukti hingga 2028 dikarenakan TPA Legok Nangka belum siap beroperasi. Hal ini memunculkan resiko krisis sampah yang lebih besar lagi di Metro Bandung.

Dampak lainnya yang tidak boleh disepelekan adalah gas metan dari sampah. Mengutip dari tulisan Anggita Dhiny Rarastri di artikel Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan-KLHK berjudul: “Kontribusi Sampah Terhadap Pemanasan Global”, meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia dari berbagai sektor yang salah satunya adalah sampah. Sampah organik mempunyai kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca yaitu gas metan (CH4) diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana.

Emisi GRK dari seluruh TPA di Jawa Barat pada tahun 2030 diperkirakan mencapai  2,6 juta ton CO₂eq. Studi GAIA, YPBB dan Walhi memperlihatkan, bahwa pelarangan sampah organik ke TPA dari Kota Bandung saja dapat menurunkan emisi  GRK sebesar 575.428 ton CO₂eq, atau  sekitar 22% dari Emisi GRK total di TPA.

Berkaca dari kondisi tersebut, walhi menilai masalah sampah bukanlah hal prioritas (urusan wajib) yang mesti segera diselesaikan. Bahkan, adanya Instruksi Gubernur inipun terkesan hanya sebatas gugur kewajiban pemerintah provinsi akan tanggung jawab dan kewenangannya. 

 

Rekomendasi Kebijakan

Pemerintah Provinsi

  1. Pemerintahan provinsi Jawa Barat dan para pemangku kebijakan di kawasan Bandung Raya memposisikan isu sampah menjadi isu prioritas atau urusan wajib;
  2. Mendorong ekspansi sistem pengelolaan sampah secara terpilah di sumber, pengolahan sampah organik sedekat mungkin dengan sumber, bukan ke teknologi pembakaran (RDF dan insinerator);
  3. Mendorong kebijakan peningkatan anggaran penanganan sampah di semua level; 
  4. Menyusun Peraturan Gubernur atau Perda Provinsi Tentang Pengelolaan sampah organic di sumber yang didalamnya mengatur : (1) Penegakan hukum, pengawasan dan pembinaan yang berkesinambungan, (2) Kerjasama antar daerah dalam hal keterbatasan fasilitas atau lahan untuk pendirian (TPS3R) 
  5. Menekan perusahaan makanan berkemasan plastik supaya mengelola bungkus kemasannya
  6. Memfasilitasi kerjasama antar lembaga di lingkungan Pemerintah Provinsi (OPD) untuk mendukung proses dan hasil pengelolaan sampah di sumber;
  7. Memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota atas berbagai kendala yang dihadapi masing-masing daerah;
  8. Pemerintah Pusat segera melakukan sinergi lintas kementerian, lintas lembaga yang dilegalkan dalam bentuk aturan beserta anggarannya;
  9. Mendorong Pemerintah pusat untuk turut andil dalam menanggulangi berbagai kekurangan, kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki daerah;

Pemerintah Kabupaten/Kota

  1. Kemudahan birokrasi dan izin bagi komunitas yang ingin terlibat dalam pengelolaan sampah  khususnya sampah organic;
  2. Pembinaan, pengawasan, reward dan punishment pada para pengelola kawasan komersial;
  3. Menyusun dan menerbitkan kebijakan PERDA pengelolaan sampah di sumber;
  4. Membina, membimbing, mengawasi, dan membantu penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan komunitas (RT/RW) dalam pengelolaan sampah;
  5. Fasilitasi dan dukungan kepada komunitas pengelola sampah, khususnya organik yang berkeinginan kerjasama dengan pengelola kawasan komersial. Termasuk membantu pemasaran hasil penanganan sampah organik (maggot);
  6. Mengkaji ulang kebijakan retribusi penarikan sampah secara proporsional bagi warga atau komunitas yang sudah menerapkan pemilahan di sumber