CATAHU 2024: Jawa Barat dalam Bayang Investasi, Bagaimana Ancaman Kerusakan DAS, Hutan, dan Pesisir?

Jawa Barat, sebagai salah satu provinsi dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, kini menghadapi ancaman besar terhadap lingkungan hidup. Ekosistem Kawasan hutan dan  pesisir yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat semakin tergerus akibat kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan percepatan ekonomi tanpa memperhatikan keberlanjutan alam. Kebijakan yang lebih menekankan pada sektor-sektor seperti pertambangan, infrastruktur, pesisir, dan pariwisata, sering kali mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem.

 

Alih fungsi lahan untuk kepentingan pemukiman, pertanian, dan pembangunan infrastruktur telah menyebabkan banyak kawasan hutan beralih fungsi menjadi lahan kritis yang tidak lagi produktif. Kehilangan tutupan hutan ini tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga berpotensi mengancam ekosistem global. Gangguan terhadap ekosistem alami ini semakin memperburuk kualitas udara, meningkatkan suhu rata-rata, dan mengurangi kapasitas lahan untuk menyerap air hujan. Akibatnya, risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor semakin meningkat, sementara banyak spesies flora dan fauna endemik kehilangan habitatnya.

 

Perubahan fungsi lahan yang terjadi seiring dengan peningkatan kebutuhan penduduk telah menyebabkan pergeseran dalam rencana tata ruang suatu wilayah. Meskipun perencanaan tata ruang awalnya sudah dipetakan dengan tujuan untuk memastikan pemenuhan daya tampung ekologis, dalam praktiknya seringkali muncul tumpang tindih peraturan yang dapat mengubah fungsi kawasan. Peraturan-peraturan yang ada, baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun daerah, kadang tidak terkoordinasi dengan baik atau ada perubahan kebijakan yang tidak sesuai dengan rencana awal. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan dalam pengelolaan lahan, dan bahkan dapat membuka celah bagi perubahan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang semula.

 

Selain itu, meskipun perencanaan tata ruang telah berupaya untuk menciptakan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan daya dukung ekologi, kenyataannya seringkali perencanaan tersebut tidak dapat mengakomodasi kebutuhan hidup masyarakat secara optimal. Banyak lahan yang dikuasai oleh negara, seperti perkebunan, tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat, padahal lahan tersebut memiliki potensi untuk menunjang kebutuhan tempat tinggal dan kegiatan ekonomi warga.

 

Akibatnya, dengan semakin pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk, banyak warga yang mulai merambah area-area hutan atau lahan negara yang tidak terkelola dengan baik. Mereka mendirikan pemukiman di lokasi-lokasi yang sebenarnya memiliki peran ekologis yang penting. Proses ini sering kali tidak terencana dengan baik dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, serta ancaman bencana alam seperti banjir dan longsor dll.

Program Citarum Harum Gagal

Program PPK DAS dengan branding Citarum Harum salah satu kegiatan yang diamanatkan oleh Perpres No. 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum. Kegiatan ini sudah masuk pada usia 6 tahun lamanya dan dijalankan oleh TNI. Salah satu yang digadang-gadangkan selama ini beberapa diantaranya: reforestasi lahan kritis di hulu, penutupan lubang pembuagan limbah B3 serta penegakan hukum bagi industri yang melakukan pencemaran langsung ke sungai, penyikapan sampah di sungai dan di bantaran sungai serta penyadaran masyarakat.

 

Klaim saat ini PPK DAS serta pemerintah menyatakan bahwa status Indeks Kualitas Air (IKA) dalam katogeri tercemar ringan. Sungai bersih dari sampah serta lahan kritis telah berkurang, namun fakta yang terjadi di lapangan hingga saat ini, WALHI menilai pernyataan tersebut adalah sebuah kekeliruan, nyatanya di beberapa tempat industri masih saja melakukan pembuangan air limbah B3 secara langsung ke sungai. Sampah pada saat hujan masih mencemari sungai dan lahan kritis di kawasan hulu angkanya masih tinggi, partisipasi publik pun tidak dapat dibenarkan.

 

Sejumlah infrastruktur telah dibangun. Salah satu diantaranya yakni normalisasi kali mati (oxbow) yang telah dilaksanakan sejak 2019 di 5 lokasi dengan anggaran Rp33,8 miliar yakni Kali Mati Dara Ulin, Mahmud, Bojong Soang, Sapan, dan Cisangkuy. Pembangunan Kolam Retensi Andir dan polder- polder di Kabupaten Bandung sebagai tampungan pengendali banjir dengan anggaran Rp114 miliar. Infrastruktur pengendali banjir tersebut telah terbangun pada bulan Agustus 2020 hingga tahun 2021, tepat di 5 lokasi yakni Cijambe Barat, Cijambe Timur,  Cigede,  Cipalasari,  dan  Cisangkuy.

Pada Tahun Anggaran 2020, Kementerian PUPR juga menganggarkan Program Padat Karya Tunai (PKT) sebesar Rp56,1 miliar untuk mendukung penanganan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat dari tingginya aktivitas domestik dan industri di pinggiran DAS Citarum. Selain itu dalam rangka mendukung pembiayaan penanganan sampah di DAS Citarum, PUPR telah melakukan penandatangan loan agreement atau perjanjian pinjaman dengan World Bank untuk pelaksanaan Program Improvement of Solid waste Management Support Regional and Metropolitan Cities Project (ISWMP) sebesar USD100 juta (Rp1,58 triliun) berlaku efektif 3 April 2020 hingga 30 November 2025.

Pelaksanaan program tersebut dilakukan pada 2018 hingga tahun 2020 dengan anggaran sebesar Rp551,41 miliar. Anggaran yang besar tersebut baru dari satu Kementrian PUPR, lebih dari itu WALHI dan publik tidak mengetahui secara terperinci anggaran program Citarum Harum yang sifatnya menjadi beban negara (hutang).

 

Fakta yang terjadi saat ini, sejauh dari pengamatan WALHI, bahwa IKA Citarum masih dalam status tercemar berat. Indikator tercemar berat dikarenakan pencemaran limbah B3 ke sungai langsung masih terjadi dan tidak pernah di jalankan penegakan hukum terhadap industri yang melanggar. Indikatro kedua, sampah domestik serta sampah paracetamol masih mencemari sungai yang kerap terjadi pada saat hujan turun. WALHI berpendapat bahwa program CITARUM HARUM GAGAL, 6 tahun yang seharusnya sudah sampah angka 80% capaian yang harus tercapai hal tersebut tidak tercapai. Ketiga, lahan kritis masih tinggi tidak heran di kawasan hulu terus mengalami banjir bandang/banjir lumpur.

Potensi Kerusakan Lingkungan Hidup oleh REBANA

Tela’ah WALHI atas Perpres No 87 Tahun 2021 Tentang Pembangunan Percepatan Rebana dan Jawa Barat Bagian Selatan serta Tela’ah WALHI atas Pergub No 84 Tentang Rencana Aksi Pengembangan Metropolitan Cirebon, Patimban dan Kertajati Tahun2020-2030. Untuk mendukung kebijakan tersebut Pemprov Jabar menggunakan draf revisi RTRW Provinsi Jawa Barat tahun 2022 menjadikan sebagai rujukan document Pergub No 84 ttg Rencana Aksi REBANA.

Temuan yang kami dapat untuk luasan KPI versus RTRW Kabupaten/Kota tidak sesuia, terdapat minimalnya terjadi penambahan luasan di kawasan peruntukan industry sebanyak 25.988 Ha. Terdapat sebanyak 33 Kecamatan yang berpotensi akan mengalamai perubahan pola suang di 6 Kabupaten/Kota. Serta sebagian besar perubahan polar uang akan terjadi pada peruntukan pemukiman warga, pesawasahan, pertanian, kebun dan tambakl serta hutan.

Kami menghitung ancaman di REBANA Jabar Utara ini, terdapat luas total 13 KPI REBANA sekitar 43 ribu hektar atau setara dengan produksi beras dalam setahun bisa lebih dari 400 ribu ton serta setara dengan luas lahan yang di kelola oleh 146 ribu keluarga petani di Jawa Barat. Maka di pastika ke kedepan produksi beras dan pangan di Jawa Barat akan di pastikan BERKURANG. Tidak cukup disitu kebutahan air baku untuk kawasan REBANA WALHI menghitung bisa mencapain sebesar 16.521.77 liter/detik hal ini melampui total debit alternatif sumber air baku di kawasan REBANA yang hanya mencapai 12.850 liter/detik.

Ancaman lain, WALHI menilai kebijakan ini akan mengilangkan akses rakyat terhadap ruang atau agrarian yang di miliki masyarakat saat ini, mayoritas masyarakat bermata pencaharian di lahan eksisting yaitu petani dan buruh tani, tidak hanya itu petani dan buruh tani akan berpotensi hilang mata pencahariannya dan belum tentu jenis kegiatan baru serta mata pencaharian yang baru dapat menjawab kebutuhan rakayat.

Meningkatnya Alih fungsi lahan oleh Tambang dan Geothermal

Program Proyek Strategis Nasional (PSN) semakin memperburuk dayu dukung daya tampung lingkungan hidup di Jawa barat, setidaknya proyek ini telah menciptakan degradasi kawasan hutan dan kawasan urban mencapai 1 juta hektar di Jawa Barat, perubahan bentang alam ini didominasi oleh kegiatan pembangunan Kerata Cepat, Jalan Tol, Bandara Kertajadi, PLTU Batubara, PLTGU, Pelabuhan Patimban, Waduk, Industri, pembangunan property serta maraknya ijin wisata di kawasan hutan.

Penyusutan kawasan hutan juga tidak luput dari intervensi kegiatan pembangunan Geothermal, Jawa Barat sudah hampir semua gunung diproyeksikan akan dieksploitasi untuk kepentingan panas bumi, tidak cukup disitu pembukaan lahan oleh kegiatan Hutan Tanaman Energi Pun menjadi salah satu biang kerok atas penyusutan kawasan hutan, belum lagi penurunan status hutan kerak terjadi hanya demi semata-mata kepentingan penambang, salah satu contoh SK 25 yang memproyeksikan kepentingan Panas Bumi di Kamojang.

Analisis cepat WALHI terhadap Kepmen ESDM Nomer.96.K/MB.01/MEM.B/2020 Tentang Wilayah Pertambangan di Jawa Barat. Setidaknya di bagi menjadi tiga wilayah pertambangan pada Kepmen ini yaitu Wilayan Usaha Pertambangan, Wilayah Pencadangan Negara dan Wilayah Pertambangan Negara, salah satu untuk jenis kegiatannya di tetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Mineral dan Logam, Pertambangan Batubara, Mineral bukan logam, pertambangan batuan dan Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu. Kepmen ini menargetkan seluas 73 WPR dan seluas 1.867.22 hektar di Jawa Barat untuk tambang.

Tidak heran bagi kami perubahan bentang alam yang mengakibatkan terjadinya bencana ekolgis di jawa Barat, 2024 akumulasi dari degradasi kawasan telah mengakibatkan bencana ekologis yang tinggi serta berkepanjangan. Tak heran juga kejadian bencana lebih di dominasi oleh daerah Cianjur, Bogor dan Sukabumi sehingga tahun ini telah menyebabkan banjir bandang dan longsor di Jawa Barat.

 

KBU Terus di Gempur Izin-Izin Properti dan Wisata

 

Kurang lebih 20 tahun kebelakang, WALHI setidaknya mencatat adanya perubahan bentang alam, degradasi lahan serta alih fungsi kawasan yang semakin tinggi bukan malah cenderung menurun. Perubahan bentang alam tersebut terjadi baik di kawasan hutan, salah satunya alih fungsi kawasan terjadi di zona resapan air, zona konservasi, zona hutan lindung hingga zona Cagar alam. Hal serupa kerusakan di wilayah pedesaan, intervensi kerusakan dapat di lihat dari mulai rusaknya kawasan Mikro Das, Sub Das dan sampai kerusakan Das, jika mengacu kepada landscape sungai yang ada di Jawa Barat semia sungai dalam kondisi rusak ringan hingga rusak berat statusnya. Buruknya implentasi Rencana Tata Ruang Wilayan (RTRW) di setiap Kabupaten/Kota hingga Provinsi mencermikan dampak buruk yang akhirnya melahirkan kerusakan lingkungan yang tersistematis dan cenderung legal untuk merusak lingkungan.

Misal fakta saat ini, Kawasan Bandung Utara (KBU) selepas di syahkan nya UUCK, Pemerintah Provinsi langsung tidak lagi memberlakukan Perda KBU tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara, dimana kawasan tersebut memiliki fungsi penting bagi kehidupan masyarakat banyak warga Bandung raya. Tidak dapat di perkiraan kerusakan ke depan akan semakin terjadi dan akan lebih sangat nampak jelas malah terkesan seakan-akan di legalkan untuk dirusak, mengingat pada saat berlakunya Perda KBU saja kawasan tersebut telah mengalami degradasi perubahan bentang alam yang cukup signifikan dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang.

Intervensi kerusakan dapat di lihat salah satunya dengan masih maraknya izin-izin bisnis property serta maraknya izin wisata alam yang tidak pernah mengedepankan prinsip dan nilai keberlangsungan lingkungan hidup itu sendiri, maka tidak heran pada saat musim hujan bencana banjir longsor, banjir bandang kerap terjadi dan di musim kemarau menimbulkan kejadian bencana kekeringan.

 

Pengembangan Program di Kawasan Bandung Selatan (KBS)

 

Serupa pada kondisi saat ini, potensi ancaman sudah mulai masuk ke wilayah Kawasan Bandung Selatan (KBS), padahalan KBS merupakan daerah yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk keberlangsungan rakyat di tatar ukur. Kawasan ini tidak lepas dari gangguan yang serius mulai dari kawasan yang di Kelola oleh PTPN VIII yang dimana situasinya saat ini seluas ribuan Ha HGU nya telah mengalami habis masa izin, celakanya pemerintah melihat kondisi tersebut cenderung dan patut di duga akan di jadikan sebagai kawasan yang strategis untuk di komersilkan, misal izin-izin yang di proyeksikan untuk bisnis Wisata alam lebih meningkat serta di perburuk dengan investasi untuk para kapitalis sangat longgar, sementara daerah ini merupakan kawasan yang rawan bencana yang begitu komplek, terdapat gunung api, pergeseran dan Gerakan tanah, banjir, puting beliung dan berbagai bencana ekologis lainnya.

Dalam kacamata lain, situasi ini di perburuk juga dengan tidak berjalannya penegakan hukum bagi pelaku-pelaku perusak lingkungan, pelaku perusak lingkungan bukan hanya sekedar kelompok pengusaha semata melainkan intitusi penegak hukum serta intitusi pemerintah terkadang menjadi bagian dari Sebagian besar sebagai pelaku kerusakan, berbagai kebijakan hanya di jadikan sebagai sandaran untuk melakukan pungli serta di jadikan lahan basah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga jika melihat dari aspek kerusakan tidak hanya cukup disebabkan oleh pelaku pemodal, pemerintah pun masuk berada di dalamnya.

Kerusakan hutan di Jawa Barat, terutama akibat kebijakan yang mengedepankan kepentingan investasi, semakin mengkhawatirkan. Pembangunan yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan semakin memperburuk kualitas lingkungan dan menggusur ruang hidup masyarakat lokal. Banyak kawasan yang seharusnya dilindungi, seperti kawasan hutan lindung dan konservasi, kini terancam oleh alih fungsi untuk kepentingan bisnis dan pembangunan industri. Selain itu, sektor pertambangan dan pesisir, yang kerap melibatkan investasi asing, semakin memperburuk kerusakan alam. Pembukaan lahan untuk tambang, perkebunan besar, dan pembangunan infrastruktur menambah panjang daftar kawasan yang hilang dari peta hutan di Jawa Barat.

Secara ekologis, dampak dari kerusakan ini sangat signifikan. Kehilangan tutupan hutan mengurangi kapasitas alam untuk menyerap air hujan, meningkatkan suhu rata-rata, dan menurunkan kualitas udara. Dengan semakin berkurangnya hutan, risiko bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan semakin sulit dihindari. Selain itu, banyak spesies yang bergantung pada hutan untuk bertahan hidup semakin terancam punah, mengurangi keanekaragaman hayati yang sangat penting bagi kestabilan ekosistem.

Di sisi sosial, masyarakat lokal yang selama ini bergantung pada hutan sebagai sumber daya alam utama turut merasakan dampak kerusakan ini. Kehilangan akses terhadap hasil hutan, seperti kayu, madu, dan obat-obatan tradisional, mengurangi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar. Generasi muda yang seharusnya belajar dan mengenal hutan sebagai bagian dari identitas budaya mereka kini kehilangan kesempatan tersebut. Kerusakan ini memperlebar kesenjangan antara manusia dan lingkungan sekitar, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan alam.

Masalah semakin rumit dengan adanya tumpang tindih peta kawasan, pengelolaan hutan yang dilakukan secara ilegal, serta perambahan hutan oleh pihak kapitalis dan BUMN yang tidak mendapatkan penindakan tegas. Akibatnya, banyak masyarakat yang bergantung pada hutan terpaksa terusir dan mencari penghidupan di tempat lain, sementara negara gagal memberikan perlindungan yang memadai bagi mereka.

Berdasarkan data dari Atlas Nusantara, pada tahun 2023, luas hutan yang tersisa di Jawa Barat hanya sekitar 259.576 hektare. Sementara itu, lahan kritis terus bertambah, dengan Jawa Barat menduduki peringkat ketiga secara nasional dalam hal luas lahan kritis, mencapai 907.979,09 hektare pada tahun 2021. Kondisi ini semakin menegaskan urgensi rehabilitasi hutan sebagai solusi strategis untuk mengatasi dampak dari degradasi lingkungan yang semakin parah.

 

Dampak UU Cipta Kerja terhadap Lingkungan Hidup

UU Cipta Kerja memberikan kemudahan dalam memperoleh izin usaha, termasuk di sektor pertambangan, kehutanan, pariwisata, pesisir, dan infrastruktur. Kebijakan ini memfasilitasi masuknya investasi asing yang tidak hanya berfokus pada percepatan ekonomi, tetapi juga mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Berikut adalah beberapa dampak signifikan dari UU Cipta Kerja terhadap lingkungan hidup di Jawa Barat:

Penyederhanaan Proses Perizinan dan AMDAL: UU ini menyederhanakan prosedur perizinan, termasuk izin untuk proyek-proyek besar di sektor pertambangan dan infrastruktur. Hal ini memungkinkan konversi lahan hutan menjadi area komersial seperti perkebunan besar, tambang, dan kawasan pariwisata. Proses perizinan yang lebih cepat ini mengabaikan pertimbangan dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam.

Sektor Pertambangan dan Kehutanan: Kebijakan ini mempercepat aktivitas pertambangan, termasuk penambangan batubara, emas, dan mineral lainnya, yang semakin mengancam kawasan hutan lindung dan ekosistem pesisir. Aktivitas pertambangan besar ini sering kali dilakukan tanpa memperhitungkan kelestarian lingkungan, yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi kualitas tanah serta air.

Sektor Pariwisata: Pemerintah juga memberikan kemudahan bagi investasi asing di sektor pariwisata, yang sering kali mengabaikan prinsip keberlanjutan dan berdampak pada kerusakan ekosistem alami. Pembukaan kawasan pariwisata di daerah-daerah konservasi dan hutan lindung semakin memperburuk kerusakan lingkungan, merusak habitat flora dan fauna endemik, serta mengancam kualitas ekosistem pesisir yang vital bagi kehidupan masyarakat lokal.

Sektor Pesisir dan Pengelolaan Sumber Daya Laut: Kebijakan ini juga mempengaruhi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan revisi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang memungkinkan penambangan pasir laut dan pasir besi. Ekosistem pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan ini akan semakin terganggu, merusak habitat laut yang penting bagi kehidupan perikanan dan pariwisata. Proyek-proyek besar yang didorong oleh investasi asing sering kali mengabaikan keseimbangan ekosistem pesisir, memperburuk erosi pantai, dan mengurangi kemampuan alam untuk menyerap air hujan.

 

Dampak di Kawasan Pegunungan dan DAS

Kawasan pegunungan dan hutan di Jawa Barat memiliki peran sangat penting sebagai penyangga ekosistem dan sumber daya air. Namun, eksploitasi sumber daya alam di kawasan ini semakin memperburuk kondisi lingkungan. Aktivitas pertambangan, perubahan fungsi lahan, dan pembangunan infrastruktur semakin mengancam kawasan hutan dan pegunungan yang memiliki tutupan hutan yang kritis.

Eksploitasi Tambang: Di kawasan pegunungan, aktivitas tambang, seperti penambangan emas yang menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri dan sianida, semakin merusak ekosistem DAS. Limbah berbahaya yang dihasilkan dari proses penambangan ini mencemari sungai dan tanah di sekitarnya, memperburuk kualitas air yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat dan ekosistem di hilir. Pencemaran ini menciptakan dampak jangka panjang yang sulit untuk diperbaiki, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.

Dampak Pencemaran DAS: Jawa Barat sebagai salah satu wilayah dengan banyak aliran DAS kini menghadapi peningkatan pencemaran yang signifikan. Pencemaran ini tidak hanya berasal dari aktivitas pertambangan, tetapi juga dari industri lain seperti pabrik tekstil yang menghasilkan limbah B3. Limbah-limbah tersebut mencemari sungai-sungai utama, baik di wilayah hulu, tengah, maupun hilir, menyebabkan kerusakan pada ekosistem air dan kualitas air yang sangat penting untuk pertanian, konsumsi domestik, dan kebutuhan industri. Sungai-sungai yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan kini terancam tidak hanya oleh limbah tambang, tetapi juga oleh limbah rumah tangga dan industri, yang memperburuk kualitas lingkungan hidup.

Alih Fungsi Kawasan Pegunungan: Perubahan fungsi lahan di kawasan pegunungan, yang semula merupakan kawasan hutan lindung dan konservasi, semakin mengurangi tutupan hutan yang ada. Alih fungsi ini menyebabkan hilangnya banyak kawasan resapan air dan memperburuk kerusakan ekosistem DAS yang sangat bergantung pada kestabilan pegunungan dan hutan. Kehilangan hutan di daerah-daerah tersebut memperburuk risiko bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang, yang kerap terjadi akibat tingginya laju aliran air yang tidak lagi dapat diserap dengan baik.

 

Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia dan Kesehatan Kehidupan Masyarakat 

Selain kerusakan lingkungan, kebijakan ini juga memberikan dampak sosial yang signifikan. Proyek-proyek besar seringkali melibatkan perampasan tanah masyarakat adat dan merusak mata pencaharian mereka. Banyak warga yang bergantung pada hutan dan pertanian terpaksa kehilangan akses ke lahan mereka, karena tanah-tanah tersebut diambil alih untuk kepentingan industri atau investasi asing. Hal ini menimbulkan konflik sosial dan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat, yang semakin kesulitan untuk bertahan hidup di tengah kerusakan alam yang semakin parah.

Kesehatan Mental dan Stres Psikologis: Perampasan tanah dan kehilangan mata pencaharian dapat menyebabkan stres mental yang berat bagi masyarakat lokal. Mereka mungkin mengalami kecemasan, depresi, dan trauma akibat perasaan kehilangan tempat tinggal dan ketidakpastian masa depan. Rasa terpinggirkan dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga dapat meningkatkan tingkat gangguan mental.

Paparan Terhadap Pencemaran: Kerusakan lingkungan akibat proyek-proyek besar, seperti polusi udara, air, dan tanah, dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat lokal. Pencemaran air dan tanah dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit kulit, gangguan pernapasan, dan keracunan logam berat yang dapat mengganggu kesehatan jangka panjang.

Penurunan Akses terhadap Pangan dan Gizi: Kehilangan akses terhadap tanah untuk bertani atau mengumpulkan sumber daya alam dapat menyebabkan penurunan ketersediaan pangan bagi masyarakat. Ini bisa menyebabkan malnutrisi, khususnya pada anak-anak dan kelompok rentan lainnya, karena mereka tidak dapat memperoleh cukup makanan bergizi untuk mempertahankan kesehatan.

Penyakit yang Ditingkatkan oleh Kerusakan Alam: Jika hutan atau lahan pertanian dihancurkan, ekosistem yang mendukung keseimbangan lingkungan bisa terganggu. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti malaria atau demam berdarah, karena perubahan habitat yang menguntungkan bagi vektor penyakit.

Keterbatasan Akses terhadap Layanan Kesehatan: Dalam situasi konflik sosial dan kerusakan lingkungan, akses terhadap layanan kesehatan dapat terhambat. Masyarakat yang terdampak mungkin harus berpindah ke daerah yang lebih padat penduduknya, dengan fasilitas kesehatan yang terbatas, atau mereka mungkin tidak mampu mengakses layanan kesehatan yang memadai karena masalah ekonomi.

Secara keseluruhan, dampak kesehatan dari kebijakan yang merugikan hak asasi manusia dan kehidupan masyarakat lokal sangat kompleks, melibatkan aspek fisik, mental, dan sosial, yang saling terkait dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.

 

Kerusakan Ekosistem yang Diperburuk oleh Aktivitas Ilegal

Selain faktor kebijakan, perambahan hutan ilegal dan pembalakan liar turut memperburuk kondisi hutan di Jawa Barat. Kawasan yang seharusnya dilindungi kini terancam oleh aktivitas ilegal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengeksploitasi hutan untuk keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan. Praktik pembalakan liar yang tidak terkendali ini menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi yang penting bagi pengendalian iklim dan pengaturan siklus air.

 

Krisis Lingkungan yang Berkelanjutan

Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, terutama dalam sektor pertambangan dan industri yang merusak lingkungan, semakin memperburuk kualitas udara, air, dan tanah. Polusi udara dari pembakaran batubara, serta kerusakan yang dihasilkan oleh penambangan, menyebabkan penurunan kualitas hidup masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan industri. Selain itu, kerusakan kualitas tanah dan air berdampak langsung pada ketahanan pangan, yang mengancam kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian.

 

Ancaman Lima Hingga Dua Puluh Tahun Kedepan

Dalam lima hingga dua puluh tahun ke depan, jika kebijakan pembangunan tidak seimbang, maka ancaman terhadap hutan dan ekosistem akan semakin parah. Pembangunan infrastruktur dan pertambangan yang terus dilaksanakan dapat memperburuk kerusakan ekosistem yang sudah terjadi. Jika kebijakan yang ada tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekologis dan hak-hak masyarakat, kerusakan ini akan menjadi semakin sulit diatasi.

 

Kesimpulan

Jawa Barat, sebagai salah satu provinsi dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, kini menghadapi ancaman besar terkait kerusakan lingkungan hidup dan perampasan sumber daya alam. Ancaman ini semakin nyata akibat kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan percepatan ekonomi, seperti yang tercermin dalam berbagai proyek infrastruktur, pertambangan, dan industri. Pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar, banyak diantaranya dimiliki oleh pihak asing, memperburuk kerusakan ekosistem yang sudah parah. Tidak jarang, hal ini disertai dengan praktik-praktik kolusi antara pengusaha, oknum pejabat, dan bahkan aparat penegak hukum yang turut melibatkan diri dalam pengurusan izin-izin yang merugikan masyarakat dan lingkungan.

Proyek-proyek besar yang dibiayai oleh investasi asing, terutama di sektor pertambangan dan infrastruktur, sering kali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat. Pengalihan lahan yang seharusnya dilindungi, seperti kawasan hutan lindung dan konservasi, untuk kepentingan bisnis dan pembangunan industri mengancam keberlanjutan alam dan menggusur ruang hidup masyarakat lokal. Selain itu, ketergantungan pada sektor yang merusak alam, seperti PLTU berbasis batubara dan penambangan mineral, semakin meningkatkan dampak negatif terhadap kualitas udara, air, dan tanah, yang berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

 

Rekomendasi 

Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Lokal

Kebijakan Pemerintah yang Pro-Masyarakat: Pemerintah harus mengutamakan hak-hak masyarakat lokal dalam setiap kebijakan pembangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan perlindungan hukum terhadap tanah adat dan tanah masyarakat, serta menjamin bahwa keputusan mengenai pemanfaatan lahan tidak merugikan kepentingan lokal.

Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam: Mengambil pendekatan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, yang melibatkan mereka dalam perencanaan dan pengawasan kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan.

 

Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum

Penegakan Hukum yang Tegas: Perlu ada komitmen yang lebih kuat dari aparat penegak hukum untuk menindak tegas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengurusan izin lingkungan dan pertambangan. Terutama dalam hal penerbitan izin yang tidak sesuai dengan ketentuan lingkungan hidup dan merugikan masyarakat. Pemberantasan kejahatan lingkungan yang melibatkan oknum pejabat dan aparat penegak hukum perlu menjadi prioritas.

Transparansi Proses Perizinan: Semua proses perizinan terkait penggunaan sumber daya alam harus dilakukan secara transparan dan melibatkan publik dalam prosesnya, termasuk dalam hal evaluasi dampak lingkungan (AMDAL) yang independen dan terpercaya. Proses ini juga harus diawasi oleh lembaga independen dan masyarakat sipil untuk menghindari penyelewengan.

 

Reformasi Kebijakan Investasi dan Sumber Daya Alam

Kebijakan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan: Pemerintah harus merumuskan kebijakan yang mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan tidak hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek. Kebijakan yang mengutamakan konservasi alam, pengurangan emisi, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan harus didorong untuk menggantikan model pembangunan yang lebih merusak.

Pembatasan Kepemilikan Asing atas Sumber Daya Alam: Untuk mengurangi ketergantungan pada investasi asing yang sering kali hanya memprioritaskan keuntungan tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial, pembatasan terhadap kepemilikan asing atas sumber daya alam harus dipertimbangkan. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi kedaulatan ekonomi dan mengurangi eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap alam.

Penerapan Restorasi Ekosistem: Dalam proyek-proyek yang merusak lingkungan, pemerintah harus menerapkan prinsip restorasi ekosistem yang memastikan bahwa kerusakan yang ditimbulkan dapat diperbaiki. Pembangunan infrastruktur dan pertambangan harus diimbangi dengan upaya rehabilitasi lingkungan pasca proyek.

 

Penguatan Pendidikan dan Kesadaran Lingkungan

Pendidikan Lingkungan untuk Masyarakat: Melakukan kampanye besar-besaran tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan mengedukasi masyarakat tentang dampak dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dapat memperkuat perlawanan terhadap kebijakan yang merusak alam dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih bijaksana.

Keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya dapat berperan penting dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang berpotensi merusak lingkungan. Mereka dapat memberikan masukan konstruktif dan melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan yang lebih pro-lingkungan dan pro-masyarakat.

Revisi dan Evaluasi Kebijakan Pembangunan dalam Perubahan Tata Ruang Wilayah.

Tumpang tindih antara UU Cipta Kerja dan berbagai undang-undang terkait tata ruang berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian dalam pengelolaan ruang, pengurangan perlindungan terhadap kawasan konservasi, hutan, dan pesisir, serta mengabaikan prinsip keberlanjutan yang seharusnya dijaga dalam dokumen perencanaan pembangunan seperti RPJMD, RPJMN, dan RPJP. UU Cipta Kerja memperkenalkan perubahan signifikan dalam regulasi yang sebelumnya mengatur pengelolaan ruang dan lingkungan, yang bisa berimplikasi pada keberlanjutan pembangunan daerah dan nasional.

 

Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, penataan ruang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. UU Cipta Kerja lantas membawa banyak perubahan terkait penataan ruang yang apabila diamati, pada pokoknya merupakan bentuk penyederhanaan regulasi dan perizinan. Sama halnya seperti perubahan-perubahan lain yang diakomodasi oleh UU Cipta yang tujuan utamanya adalah mendorong percepatan dan perluasan investasi serta pertumbuhan ekonomi.

  1. Perubahan pertama yang krusial terkait tata ruang dalam UU Cipta Kerja, yaitu penghapusan izin pemanfaatan ruang. Izin tersebut tidak serta-merta dihapus, melainkan diganti dengan model “kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Alasannya sederhana, izin pemanfaatan ruang yang selama ini digunakan dinilai telah menambah perizinan yang diperlukan untuk memulai kegiatan usaha. Sementara dengan model kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, pelaku usaha dapat menempuh mekanisme yang lebih sederhana. Namun, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang merupakan bentuk pengawasan yang jauh lebih lemah dari pendahulunya. Pengawasan yang diberikan hanyalah indikasi awal, bahwa suatu kegiatan sudah sesuai dengan peruntukan ruang. Tanpa didukung oleh peninjauan di lapangan, mekanisme pengawasan semacam ini berpotensi menimbulkan konflik sosial.
  1. Perubahan kedua yang diangkat oleh UU Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan sistem tata ruang. Salah satu bentuk dalam sistem perencanaan tata ruang  yaitu, rencana tata ruang kawasan strategis. Awalnya, rencana tata ruang kawasan strategis dapat dibentuk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun pasca disahkannya UU Cipta Kerja, yang berwenang mendesain kawasan strategis hanyalah pemerintah pusat.
  2. Perubahan selanjutnya, UU Cipta Kerja menciptakan sentralisasi penataan ruang. Seperti misalnya dalam 34A UU Penataan Ruang sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja. pemberian persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat. Lalu sekarang ini pemerintah juga dapat mengambil alih penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan catatan provinsi dan kabupaten/kota terlambat menetapkan rencana tata ruang mereka dalam waktu yang sudah ditentukan.

Salah satu hal yang kemudian mendapat kritik dari perubahan tentang penataan ruang, yaitu pelemahan fungsi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS merupakan instrumen wajib ketika pemerintah pusat maupun daerah sedang menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW). Namun saat ini, dalam Pasal 14A UU Penataan Ruang yang diubah dalam Cipta Kerja justru hanya meletakkan KLHS hanya menjadi bahan pertimbangan dan bukan kewajiban.

Masih banyak perubahan lain yang dimuat dalam UU Cipta Kerja terkait Penataan Ruang. Namun bagaimanapun tata ruang merupakan instrumen penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sistem yang dibangun dalam perencanaan tata ruang menjadi kunci dari kegiatan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dalam sebuah unit ruang. Hal ini bertujuan untuk memastikan keselamatan manusia dan kelestarian fungsi ekologi. Sekali lagi, UU Cipta Kerja memperlihatkan eksistensinya dengan membongkar sistem-sistem yang ada untuk sekedar mempercepat perluasan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan

Perubahan yang dilakukan dalam RUU Cipta Kerja terhadap UU Kehutanan dan UU P3H cenderung menguntungkan korporasi dan berpotensi merugikan masyarakat adat serta lingkungan. Beberapa pasal yang diubah atau dihapus memberi kemudahan bagi perusahaan besar untuk mengeksploitasi hutan tanpa kontrol yang ketat, sekaligus meningkatkan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal yang telah lama mengelola hutan secara berkelanjutan. Selain itu, perubahan frasa dalam RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UU lain, menghilangkan hak partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, dan melemahkan perlindungan terhadap ekosistem.

Merekomendasikan agar pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan dan fokus dialihkan ke revisi UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara menyeluruh. Revisi ini harus melibatkan partisipasi publik dan masyarakat adat untuk memastikan pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan, serta menghindari kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

 

UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan

UU Cipta Kerja mempermudah izin untuk proyek reklamasi dan pemanfaatan ruang pesisir, yang sering kali bertentangan dengan kebijakan pengelolaan pesisir yang lebih memperhatikan pelestarian ekosistem. Perubahan ini berisiko merusak ekosistem pesisir yang sebelumnya diatur untuk dilindungi, mengingat UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan bertujuan menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan lautan.

 

Korelasi dengan RPJMD, RPJMN, dan RPJP: RPJMD di tingkat daerah menekankan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, sementara RPJMN dan RPJP menekankan pentingnya keberlanjutan sumber daya alam pesisir dan laut. Pengubahan kebijakan yang mempermudah reklamasi dan pembangunan pesisir dapat bertentangan dengan tujuan tersebut dan berpotensi merusak ekosistem pesisir yang menjadi bagian penting dari keberlanjutan lingkungan di Indonesia.

 

UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU Lingkungan Hidup mengatur perlindungan terhadap lingkungan secara umum dan pengelolaan ruang terbuka hijau, namun perubahan dalam UU Cipta Kerja mempercepat perizinan dan mengurangi kewajiban analisis dampak lingkungan (AMDAL) untuk beberapa jenis kegiatan industri dan pembangunan. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak terdeteksi atau tidak terkelola dengan baik, mengabaikan pentingnya perlindungan lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas dalam perencanaan tata ruang.

Korelasi dengan RPJMD, RPJMN, dan RPJP: RPJMD dan RPJMN mengutamakan keberlanjutan lingkungan dalam pembangunan daerah dan nasional. Dalam RPJP, keberlanjutan lingkungan merupakan aspek utama dari pembangunan jangka panjang. Mengurangi kewajiban AMDAL dan mempercepat perizinan dapat mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan yang terkandung dalam dokumen-dokumen ini, yang berpotensi menambah kerusakan ekosistem.

 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang Zonasi Kawasan Hutan

Zonasi Kawasan Hutan yang diatur oleh KLHK bertujuan untuk mengelola kawasan hutan dengan membatasi aktivitas-aktivitas tertentu berdasarkan jenis zona (perlindungan, pemanfaatan, rehabilitasi). Namun, kebijakan dalam UU Cipta Kerja yang mempermudah konversi lahan hutan untuk kepentingan industri dapat bertentangan dengan peraturan zonasi ini, yang berpotensi merusak keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam dan kebutuhan pembangunan.

Korelasi dengan RPJMD, RPJMN, dan RPJP: RPJMD, RPJMN, dan RPJP menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, termasuk hutan, sebagai bagian dari tujuan pembangunan jangka panjang. Konversi hutan yang tidak terkendali bisa mengancam kelestarian alam dan menurunkan kualitas hidup masyarakat, yang bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam dokumen-dokumen ini.

 

Kesimpulan

Tumpang tindih antara UU Cipta Kerja dan berbagai undang-undang terkait tata ruang berpotensi menyebabkan ketidaksesuaian dalam pengelolaan ruang, pengurangan perlindungan terhadap kawasan konservasi, hutan, dan pesisir, serta mengabaikan prinsip keberlanjutan yang dijaga dalam RPJMD, RPJMN, dan RPJP. Perubahan dalam UU Cipta Kerja yang mempermudah izin pembangunan tanpa memperhatikan dampak lingkungan dapat menambah konflik antara kepentingan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk menyelaraskan kebijakan antara UU Cipta Kerja dan dokumen perencanaan pembangunan nasional serta daerah, dengan mengutamakan partisipasi masyarakat dan keberlanjutan dalam setiap proses perencanaan dan pengawasan proyek pembangunan, agar tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang tercantum dalam RPJMN, RPJP, dan RPJMD dapat tercapai.

 

Kebijakan Pembangunan Berbasis Keadilan Sosial dan Lingkungan: Kebijakan pembangunan harus berbasis pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dalam hal ini, distribusi manfaat ekonomi dari proyek pembangunan harus lebih merata dan memperhatikan masyarakat yang terdampak langsung, bukan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok atau perusahaan besar.

 

Jika pemerintah dan pihak-pihak terkait tidak segera mengambil langkah konkret untuk melindungi alam dan hak-hak masyarakat, maka ancaman kerusakan lingkungan ini akan semakin parah dan mengancam keberlanjutan hidup generasi mendatang.