Aktivisme Yudisial: Hakim Dituntut Mengedepankan Kepentingan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Masyarakat

Jakarta – 20 Maret 2025, Sidang lanjutan Gugatan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memasuki tahapan keterangan Ahli Hukum Lingkungan dan Ahli Keuangan Negara.

Persidangan diawali dengan pemaparan dari keterangan Saksi Ahli Hukum Lingkungan yang dihadirkan oleh pihak penggugat yakni I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.  dari Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada memaparkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, menyebutkan, perkara lingkungan itu membutuhkan karakteristik berbeda, termasuk ketika ia masuk di lapangan peradilan administrasi negara, maka hakim tidak bisa melakukan pendekatan administrasi negara murni, melainkan harus menggabungkan dengan doktrin maupun teori bahkan pendekatan dalam hukum lingkungan. 

Tambahannya, ketika berbicara perkara lingkungan, seringkali perkara lingkungan itu bersifat struktural karena ia melibatkan aktor-aktor yang secara relasi kuasa tidak seimbang. Misal pemerintah melawan masyarakat ataupun pemerintah melawan korporasi. 

Dalam konteks ini, Hakim Pemeriksa Perkara dalam memeriksa perkara lingkungan hidup wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dengan kata lain, dalam perkara lingkungan, hakim juga dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat sesuai doktrin in dubio pro natura.

“Hakim diminta untuk sekiranya dapat menyeimbangkan relasi kuasa antara pihak yang bersengketa yang sebetulnya ada ketimpangan di situ. Dalam kondisi ragu-ragu, hakim diminta untuk mementingkan kepentingan lingkungan hidup apalagi saat ini kita hidup dalam kondisi krisis iklim. Jadi, kelestarian lingkungan, kelestarian planet, harus yang diprioritaskan ketika hakim berada dalam kondisi ragu-ragu,” Tambah Ahli Tersebut. 

Tak hanya itu, Ahli berpendapat dalam konteks hukum lingkungan, seringkali  lingkungan dibenturkan dengan ekonomi. Jika PLTU dipilih karena dianggap lebih murah. Itu  karena PLTU melakukan eksternalisasi terhadap biaya lingkungan. PLTU tidak menghitung pencemaran yang disebabkan oleh pengambilan batu bara, tidak menghitung kesehatan masyarakat yang terganggu. Bahkan, ketika masyarakat sakit, Itu bukan dihitung oleh ongkos produksi dari  PLTU misal terjadi pencemaran, masyarakat yang kemudian mengeluarkan biaya sendiri. 

Sedangkan untuk dampaknya terhadap Iklim, pemaparan Ahli bahwa KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) sudah mengeluarkan instrumen ekonomi lingkungan yang salah satunya adalah bagaimana pelepasan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ini harus ditangkap lagi dan itu membutuhkan biaya. 

“Dan siapa yang menanggung biayanya? Pemerintah. Artinya emisi yang dikeluarkan oleh PLTU, dengan alasan murah tersebut, pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk menyerap emisi melalui program-program deforestasi, reboisasi. Kalau dihitung semua, PLTU itu jadi sangat mahal.” Jelas, I Gusti Agung.

Sejalan dengan pemaparan Ahli lainnya, Bhima Yudhistira Adhinegara dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang menjelaskan bahwa dalam beberapa studi, banyak yang sudah menghitung biaya eksternalitas negatif yang seharusnya bisa dimaterilkan. Seperti biaya kesehatan secara langsung yang disebabkan oleh polutan udara termasuk PM25 dari PLTU Batu Bara kepada kesehatan atau kematian dini, hingga produktivitas tenaga kerja yang terganggu akibat pencemaran lingkungan. 

Bhima menjelaskan, studi yang dilakukan oleh IESR dan juga CREA itu menyebutkan bahwa spesifik untuk PLTU Tanjung Jati A terdapat kerugian dari segi kesehatan sebesar 6,46 Triliun ketika beroperasi. Ini salah satunya mempertimbangkan adanya dampak kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan harus ditanggung oleh negara. 

“Jadi kalau pertanyaannya bagaimana menghitung ini dari kerugian negara? Kita akan menyangkut pautkan tentu dari sisi paling mudah dilihat, dari klaim BPJS Kesehatan, dan juga imbas ke  defisit BPJS Kesehatan. Apa hubungannya dengan pencemaran udara, kesehatan, lingkungan sampai pada beban yang ada di negara? Paling mudah dilihat dengan bagaimana caranya agar tidak ada PLTU baru setidaknya mengurangi beban kesehatan negara dalam BPJS Kesehatan. Claimnya berkurang.” Tambah Bhima. 

Selain itu, Bhima menjelaskan,  terkait dengan mekanisme pendanaan PLTU, baik yang dikelola oleh PT PLN maupun IPP Pihak Swasta, keduanya erat berkaitan dengan investasi dari negara. 

“Misal, konteks di PLTU Cirebon 1, ini menjadi proyek pensiunan dini yang dibiayai oleh Asian Development Bank. Disitu terlihat semua. PLTU Cirebon 1, adalah PLTU milik IPP perusahaan Jepang dan Korea Selatan. Tapi begitu dipensiunkan, hambatannya adalah berdampak secara tidak langsung terhadap APBN padahal milik swasta dan disuntik mati oleh swasta. Tidak ada kaitannya dengan uang APBN murni, Ternyata efeknya berimbas, setiap IPP pembangkit listrik yang dibangun oleh swasta,  baik grid atau jaringan transmisinya harus disediakan oleh PLN. Disitu ada hubungan dengan keuangan negara.” Jelas Bhima. 

Dengan demikian, semakin tingginya subsidi dan kompensasi yang harus diberikan oleh Negara kepada PLN, juga merupakan kerugian negara jika terlalu berlebihan dan tepat sasaran.

 

Kontak Media:

M Rafi Saiful Islam, Kuasa Hukum Penggugat dari Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim, +6289644243661

Siti Hannah Alaydrus, Tim Komunikasi WALHI Jawa Barat, +62812-7765-9035